MALANG, tretan.news – Pemukiman di kawasan hulu Sungai Brantas dan sekitarnya rawan bencana. Sebab, kawasan tersebut yang sebelumnya terdapat banyak pepohonan yang berfungsi juga sebagai penyangga, sudah beralih fungsi. Mayoritas berubah menjadi perkebunan.
Kawasan hulu sungai yang berupa ratusan hektare hutan lindung di kaki Gunung Arjuno-Welirang-Kelud mengalami deforestasi.
“Penginderaan satelit dan penelitian di lokasi menemukan, hutan lindung seluas kisaran 300 Ha berubah menjadi kebun sayur,” kata Direktur Eksekustif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur Wahyu Eka Setyawan.
Kondisi tersebut terungkap dalam diskusi Diseminasi Laporan Investigasi Hutan Kalimantan bertema “Mengindra Deforestasi di Jawa Timur, Belajar Dari Hutan Kalimantan” di Toko Buku Togamas Malang.
Wahyu menjelaskan, data diperoleh dari pengindraan satelit menggunakan google earth dan global foresh watch.
Deforestasi terjadi di kawasan lindung, meliputi Taman Hutan Raya (Tahura) R Soerjo, hutan lindung dan hutan produksi di wilayah Kota Batu, Mojokerto, Pasuruan dan Malang. Dia mengaku, kesulitan mendapatkan data secara terbuka dari otoritas yang bertanggungjawab menjaga kelestarian hutan lindung.
Ditegaskan, bencana menjadi penanda kondisi hutan. Sebagai gambaran, beberapa riwayat kejadian bencana yang telah terjadi disinyalir tidak lain karena perubahan iklim akibat deforestasi. Yakni ancaman bencana hidrometeorologi hingga cuaca ekstrem.
“Saat musim hujan bisa banjir dan longsor, sedangkan kemarau berpotensi kebakaran,” tambahnya.
Dicontohkan, di Batu pernah terjadi banjir bandang yang menerjang pada November 2021. Tujuh nyawa melayang. Sedangkan 2023 lalu, kawasan hutan lindung seluas 4 ribuan hektare di kaki Gunung Arjuna ludes terbakar.
Deforestasi diperkirakan lebih luas dari pengindraan menggunakan satelit. Deforestasi juga mengancam pasokan air ke aliran Sungai Brantas. Sungai terpanjang di Jawa Timur yang melintasi 14 kabupaten dan kota.
Deforestasi hutan juga terjadi di Lumajang dan Banyuwangi yang alih fungsikan menjadi kawasan tambang. Sedangkan kebijakan perhutanan sosial, awalnya menjadi berkah bagi masyarakat tapi bisa berubah menjadi praktik deforestasi.
“Masalah ini perlu pendampingan dan pengawasan. Jika tidak diawasi, dikhawatirkan Batu, Malang dan sekitarnya akan bernasib sama dengan hutan lain yang mengalami deforestasi,” tambahnya.
Menurut Wahyu, semua elemen harus melakukan refleksi dan melihat kondisi hutan di Jawa Timur. Selanjutnya, dibuatkan kebijakan sesuai kawasan dan tata kelola kehutanan.
Dikatakannya, deforestasi di Kalimantan juga erat kaitannya dengan kondisi di Jawa dan beberapa daerah lain dalam hal mempengaruhi fenomena krisis iklim beberapa tahun belakangan ini.
Sementara itu, Pakar Hukum Lingkungan Universitas Widya Gama Malang, Purnawan D. Negara menilai deforestasi hutan lindung di kaki Gunung Semeru juga berkontribusi terhadap menyusutnya sumber mata air. Bahkan, sejumlah mata air di Kota Batu mati atau berhenti mengalir.
“Karena Jawa mengalami kondisi ekologi yang semakin kritis. Stop deforestasi untuk alasan apapun,” serunya.
Pupung, sapaannya, menyebut ancaman deforestasi juga terjadi di Malang selatan. Hutan lindung terancam bakal menjadi kebun tebu dan perkebunan sawit. Padahal, sawit rakus air yang mengancam kawasan kars di Malang selatan.
Dikabarkan, Pemkab Malang menyambut investasi dengan menyiapkan lahan seluas 60 ribu hektare untuk kebun sawit.
Bagi Pupung, upaya lain untuk mengangkat masalah ini salah satunya dengan laporan jurnalistik yang mendalam.
“Untuk masyarakat bisa mengingatkan dan sama sama mencegah kerusakan berlanjut,” harapnya.