Trauma Kerusuhan Suporter, Arema FC Gagal Bermarkas di Blitar

Berita, Pemerintah112 Dilihat

MALANG, tretan.news – Manajemen Arema FC, kembali putar otak dengan penentuan home base mereka selama Stadion Kanjuruhan, Malang sedang direnovasi. Hal itu menyusul atas penolakan Walikota Blitar Santoso atas permohonan Arema FC untuk menjadikan Stadion Soepriadi, Blitar sebagai markas sementara.

Padahal, walikota tersebut sebelumnya memberikan sinyal positif, kini berubah sikap. Keputusan itu diambil setelah mempertimbangkan trauma yang dialami warga Blitar akibat kerusuhan suporter pada tahun 2020.

Beberapa minggu sebelumnya, Walikota Santoso sempat mendukung ide penggunaan Stadion Soepriadi oleh Arema FC. Ia bahkan telah mendisposisikan surat permohonan tersebut kepada Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) serta Askot PSSI Kota Blitar untuk ditindaklanjuti. Namun, dalam pernyataannya terbaru, Santoso secara tegas menyatakan penolakannya.

“Beberapa minggu yang lalu saya sudah menerima surat permohonan menggunakan Stadion Soepriadi. Namun karena trauma masyarakat pada 2020 masih belum hilang, maka permohonan Arema FC kami tolak,” ujar Santoso saat mendampingi kegiatan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan yang berziarah ke makam Bung Karno.

Keputusan Santoso ini didasarkan pada kenangan buruk dari peristiwa kerusuhan yang terjadi di tahun 2020. Saat itu, Stadion Soepriadi menjadi tuan rumah untuk laga semifinal Piala Gubernur Jawa Timur yang mempertemukan Arema FC dan Persebaya Surabaya.

Meskipun pertandingan tersebut digelar tanpa penonton dan berlangsung lancar di dalam stadion, kerusuhan antar suporter tetap terjadi di luar stadion, menciptakan ketakutan dan kerusakan yang cukup parah.

“Masyarakat Kota Blitar pastinya masih teriang peristiwa tahun 2020 lalu. Apalagi kejadian di Stadion Kanjuruhan Malang menjadi catatan tersendiri bagi kami. Makanya untuk saat ini masyarakat Kota Blitar belum bisa menerima Arema FC bertanding di sini,” tambah Santoso.

Santoso juga mengingatkan bagaimana peristiwa kerusuhan tersebut tidak hanya berdampak pada masyarakat luas tetapi juga mempengaruhi dirinya secara pribadi. Ia menceritakan bahwa mobil pribadinya menjadi sasaran amukan suporter saat itu, menambah alasan kuat bagi dirinya untuk tidak memberikan izin kepada Arema FC.

“Pada tahun 2020, mobil saya pribadi menjadi korban kebringasan oknum suporter. Itu adalah pengalaman yang sangat membekas, dan saya yakin banyak warga Blitar yang merasakan hal serupa. Oleh karena itu, kami harus mempertimbangkan keamanan dan ketenangan masyarakat sebelum mengambil keputusan yang berisiko,” ungkap Santoso.

Keputusan ini tentu saja mengecewakan bagi Arema FC dan para pendukungnya. Mereka harus mencari alternatif stadion lain untuk dijadikan home base musim ini.

Beberapa stadion di daerah lain mungkin dipertimbangkan, tetapi belum ada konfirmasi resmi mengenai opsi selanjutnya dari manajemen klub.

Bagi warga Blitar, keputusan Santoso ini diterima dengan beragam reaksi. Sebagian besar masyarakat mendukung langkah tegas Wali Kota untuk memastikan keamanan dan menghindari potensi kerusuhan yang bisa mengancam ketenangan kota.

Namun, ada juga yang menyayangkan kesempatan ini, mengingat potensi dampak ekonomi positif dari kedatangan Arema FC di Blitar.

Dengan latar belakang yang penuh dengan ketegangan ini, masa depan home base Arema FC masih belum pasti. Yang jelas, Wali Kota Blitar telah mengambil keputusan untuk melindungi warganya dari trauma masa lalu, menunjukkan prioritasnya pada keamanan dan ketertiban di Kota Blitar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *