SURABAYA, tretan.news – Di tengah keramaian festival budaya di Jepang, suara dentuman ritmis dari hentakan kaki para penari bertopeng menyita perhatian. Gerak mereka tegas namun tertata. Topeng kayu dengan ekspresi raksasa menyeringai, kostum mencolok, dan irama gamelan tradisional menciptakan atmosfer yang asing sekaligus memikat. Inilah Tari Gedrug, kesenian rakyat dari Jawa Tengah, kini viral di Tokyo dan Osaka, Jepang.
Tari Gedrug atau Rampak Buto berasal dari lereng Gunung Merapi, wilayah Magelang, Jawa Tengah. Dalam perkembangan sejarahnya, tarian ini disemarakkan kembali oleh masyarakat Desa Limbangan, Kendal lewat inisiatif seorang warga bernama Sulasno.
Ia menghidupkan kembali kesenian ini dalam bentuk pertunjukan kelompok yang enerjik, filosofis, visualnya memikat.
Secara etimologis, “gedrug” berarti hentakan kaki, sedang “rampak” berarti serempak. “Buto” menggambarkan sosok raksasa dalam mitologi Jawa yang menggambarkan watak keras, kekuatan dan keteguhan. Kombinasi ketiganya menciptakan ekspresi artistik yang kuat yang mana para penari bertopeng buto menari dengan hentakan keras, diiringi irama cepat ditingkah, di kaki suara gongseng gemerincingan. Ini bukan sekadar hiburan tapi pertunjukan yang menyampaikan keberanian serta daya hidup.
PANGGUNG BERUBAH
Awalnya, Gedrug menjadi bagian dari ritual Merti Desa atau bersih desa dan perayaan rakyat. Namun seiring waktu, ia melampaui fungsi sakralnya. Kini Gedrug tampil di panggung festival budaya, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Yang mengejutkan, tari ini justru mendapat tempat di ruang publik Jepang.
Di Negeri Sakura, Tari Gedrug kerap tampil dalam even budaya, seperti matsuri, car free day maupun perayaan Hari Indonesia. Komunitas diaspora Indonesia memainkan peran penting dalam membawa Gedrug ke jalan-jalan Tokyo dan Osaka.
Dengan semangat sukarela, mereka menampilkan Gedrug sebagai bentuk kerinduan akan tanah air sekaligus upaya memperkenalkan budaya Indonesia ke masyarakat internasional.
Respons warga Jepang terhadap tarian ini cukup antusias. Tak sedikit yang membandingkannya dengan kesenian tradisional Jepang, seperti tari topeng Noh atau teater Butoh. Keduanya memiliki kesamaan dalam penggunaan topeng, gerakan lambat dan simbolik, serta atmosfer pertunjukan yang kuat. Gedrug memang memiliki identitas sendiri, namun kedekatan nilai estetik membuat publik Jepang merasa nyambung tanpa kehilangan rasa kagum.
Fenomena ini menunjukkan satu hal, kesenian tradisi bisa menjadi duta kultural yang efektif. Ketika publik internasional mengenal dan mengapresiasi seni lokal, benih ketertarikan terhadap Indonesia akan tumbuh. Dari ketertarikan bisa timbul keinginan untuk berkunjung, menjelajahi tempat asal kesenian dan menikmati pengalaman budaya yang otentik.
Potensi ini sayangnya belum sepenuhnya direspons oleh daerah asal Gedrug. Padahal jika dikelola serius, Gedrug bisa menjadi daya tarik wisata yang khas. Wilayah seperti Magelang, Kendal dan Surakarta dapat merancang paket wisata budaya berupa pertunjukan tari, lokakarya, pengenalan filosofi, hingga kunjungan ke sanggar atau komunitas lokal. Menyaksikan langsung proses kreatif di tempat asalnya tentu memberikan kesan lebih mendalam bagi wisatawan.
Tari Gedrug adalah bukti bahwa seni tradisi tak lekang oleh zaman. Di tengah modernitas, ia masih bisa bicara menyampaikan identitas, semangat dan keindahan. Bahkan ketika berpindah panggung ke negeri jauh, Gedrug tetap menggema dengan energi yang sama, kuat, kompak dan membumi. Di tengah jalanan Tokyo, kita tidak hanya melihat para penari menari tetapi juga melihat Indonesia tampil dengan bangga dan percaya diri.
Oleh:
Rokimdakas
Penulis Esai
Sabtu 16 Mei 2025