BANYUWANGI, Tretan.news – Seratus lebih jurnalis di Banyuwangi, Jawa Timur, gelar aksi tolak Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, Senin (20/5/2024). Berbeda dengan daerah lain, demo didepan kantor DPRD Banyuwangi, tersebut bukan hanya menyoal adanya indikasi pembungkaman kemerdekaan pers.
Namun, kawanan kuli tinta yang menamakan diri Aliansi Jurnalis Banyuwangi, juga menolak pasal Revisi RUU Penyiaran yang melarang siaran bernuansa mistis dan pengobatan supranatural. Kedua larangan itu tercantum pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (f) dan (h) Revisi RUU Penyiaran.
Maka jangan heran, aksi pun diwarnai penampilan seni jaranan buto lengkap dengan seorang gambuh atau pawang lelembut. Sebagai wujud penggambaran unsur mistis yang melekat erat dalam seni produk budaya Banyuwangi.
“Menurut kami, larangan siaran bernuansa mistis dan pengobatan supranatural, bertentangan dengan semangat pelestarian budaya Banyuwangi, bahkan budaya Nusantara,” ucap Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Banyuwangi, Syamsul Arifin.
Produk budaya Banyuwangi, lanjutnya, seperti jaranan buto, seblang, keboan dan lainnya, rata-rata mengandung unsur mistis. Keseluruhan, harus terus digaungkan termasuk melalui media penyiaran agar tetap lestari.
“Termasuk pengobatan supratanural, itu juga bagian dari budaya kami, bahkan budaya Nusantara juga. Perlu dicatat, pengobatan supranatural yang diwariskan leluhur, sudah ada sebelum Nusantara mengenal pengobatan medis,” cetus pria yang akrab disapa Mas Bono ini.
“Perlu digaris bawahi pula, budaya merupakan karakter dan identitas bangsa. Jika hal-hal terkait budaya, seperti unsur mistris dan pengobatan supranatural dilarang disiarkan, bisa berimbas hilangnya karakter bangsa. Itu sangat berbahaya,” imbuhnya.
Selama aksi, perwakilan organisasi pers Bumi Blambangan, bergantian turun orasi. Mulai dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), IJTI, serta sejumlah komunitas jurnalis. Seperti Komunitas Jurnalis Banyuwangi Selatan (JBS), Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Banyuwangi dan lainnya.
“Tolak Revisi RUU Penyiaran, Lawan upaya pembungkaman kemerdekaan pers,” lantang riuh para jurnalis demonstran.
Seperti gelombang demo tolak Revisi RUU Penyiaran diseantero Indonesia, disini awak media turut menyuarakan penolakan terhadap larangan penyiaran liputan investigasi. Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik. Serta menolak Pasal 8 A huruf (q) dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR,” bebernya.
Puas berorasi, massa Aliansi Jurnalis Banyuwangi, menyerahkan surat dan penggalangan tanda tangan sikap menolak Revisi RUU Penyiaran kepada perwakilan DPRD Banyuwangi. Selanjutnya, dewan diminta meneruskan surat ke DPR RI.
“Aspirasi akan kami sampaikan kepada pimpinan DPRD Banyuwangi, untuk ditindaklanjuti,” ucap Kabag Umum DPRD Banyuwangi, Sulistyowati.
Dalam aksi tolak Revisi RUU Penyiaran, seratus lebih wartawan di Banyuwangi, kompak mengenakan busana hitam sebagai wujud berkabung atas adanya upaya pembungkaman kemerdekaan pers. Sedang pemakaian udeng tradisional dan pagelaran seni jaranan buto, merupakan bentuk perlawan terhadap pasal yang melarang penayangan siaran mengandung unsur mistis dan pengobatan supranatural, yang berpotensi menghilangkan budaya Banyuwangi.