Kontroversi Penunjukan Rais Syuriyah PCNU Banyuwangi: Jliteng Anggoro Pertanyakan Keabsahan SK PBNU

Penulis : Sholeh

Artikel, Berita, Religi, Sosial357 Dilihat

BANYUWANGI, tretannews – Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam menetapkan KH. Masykur Ali sebagai Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Banyuwangi menuai protes. Salah satu yang secara terbuka menyatakan kekecewaannya adalah Jliteng Anggoro, atau yang juga dikenal sebagai Muklis Amirudin, putra NU asal Kecamatan Purwoharjo.

SK PBNU bernomor 3584/PB.01/A.II.01.45/99/02/2025, yang diterbitkan pada 7 Februari 2025 M (8 Sya’ban 1446 H), dianggap mengecewakan oleh Jliteng Anggoro karena dinilai tidak melalui mekanisme yang semestinya, yakni tanpa melibatkan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) sebuah tim yang seharusnya berperan dalam menentukan Rais Syuriyah berdasarkan musyawarah para kiai.

Dalam jumpa pers yang digelar di Delta Café Reborn Genteng pada Senin sore (17/2/2025), Jliteng Anggoro menegaskan bahwa seorang Rais Syuriyah seharusnya memiliki tingkat kealiman yang teruji.

“Seorang Rais Syuriah seharusnya adalah kiai yang benar-benar alim. Posisi ini bukan sekadar jabatan struktural, tetapi amanah yang sangat besar karena ia menjadi pemimpin spiritual bagi para kiai lainnya. Sedangkan, di Banyuwangi ini masih banyak kiai dengan tingkat kealiman yang jauh lebih tinggi daripada KH. Masykur Ali,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Menurutnya, Rais Syuriyah harus memiliki penguasaan mendalam terhadap kitab-kitab klasik yang menjadi dasar keilmuan Islam dalam tradisi Nahdlatul Ulama. Ia mempertanyakan apakah KH. Masykur Ali memenuhi standar tersebut.

Lebih lanjut, Jliteng Anggoro menyoroti mekanisme penunjukan yang dilakukan oleh PBNU.

“Sebelum Rais Syuriyah ditunjuk, seharusnya ada tahapan tabulasi dukungan untuk memilih AHWA terlebih dahulu. AHWA ini yang nantinya akan bermusyawarah untuk menunjuk siapa yang layak menduduki posisi Rais Syuriyah. Tetapi dalam kasus ini, penunjukan justru dilakukan tanpa melalui proses tersebut,” jelasnya.

Ia juga menyinggung kemungkinan adanya unsur kepentingan tertentu dalam penerbitan SK tersebut.

“Jangan sampai ini terjadi karena adanya pesanan dari pihak tertentu. PBNU seharusnya melakukan verifikasi lebih dulu sebelum menerbitkan SK,” tegasnya.

Dalam pernyataannya, Jliteng Anggoro juga menyebutkan beberapa nama kiai muda yang menurutnya memiliki tingkat kealiman lebih tinggi dibandingkan KH. Masykur Ali. Beberapa di antaranya adalah:

Gus Solehudin Nur (Ponpes Tugung)

Gus Lukman Zarkasi (Ponpes Bustanul Makmur Genteng)

Gus Rouf (Ponpes Manbaul Ulum Sumberberas Muncar)

KH. Ali Makki Zaini (Mantan Ketua Tanfidziyah PCNU Banyuwangi)

“Para kiai ini memiliki penguasaan kitab yang sangat baik dan lebih mumpuni untuk menduduki posisi Rais Syuriyah. Ini bukan soal suka atau tidak suka, tapi tentang kriteria dan kapasitas yang seharusnya menjadi dasar dalam memilih pemimpin,” imbuhnya.

Di akhir pernyataannya, Jliteng Anggoro berharap agar kepengurusan PCNU Banyuwangi ke depan dapat lebih baik dalam menjalankan perannya.

“NU adalah organisasi sosial-keagamaan yang memiliki tanggung jawab besar, baik dalam dunia pendidikan maupun ekonomi umat. Pengurusnya harus bisa menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat, bukan sekadar menduduki jabatan,” harapnya.

Di tempat terpisah, KH. Masykur Ali yang ditemui di Pondok Pesantren Ibnu Sina mengaku kaget dengan keputusan PBNU yang menunjuk dirinya sebagai Rais Syuriyah PCNU Banyuwangi.

“Saya juga kaget dengan SK ini. Namun, sebagai warga NU yang baik, saya akan menjalankan amanah ini sebaik mungkin,” ujarnya.

Menanggapi pertanyaan seputar tingkat kealimannya yang dipermasalahkan, KH. Masykur Ali menanggapinya dengan tenang.

“Mungkin PBNU punya pertimbangan tersendiri, Mas,” pungkasnya.

Penunjukan KH. Masykur Ali sebagai Rais Syuriyah PCNU Banyuwangi jelas menimbulkan pro dan kontra. Bagi sebagian pihak, mekanisme yang ditempuh PBNU dinilai tidak sesuai dengan tradisi organisasi, sementara pihak lain menganggap bahwa keputusan ini sudah melalui pertimbangan matang.

Namun satu hal yang pasti, polemik ini mencerminkan besarnya harapan masyarakat NU Banyuwangi agar kepemimpinan organisasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip keilmuan dan musyawarah yang menjadi tradisi Nahdlatul Ulama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *