SURABAYA, tretan.news –
Aku celingukan mencari tempat bercengkerama
Di mana ada lapangan dengan rumput?
Dulu ada Alun-Alun Contong sejak Keraton Surabaya
Tapi kini aku hanya menemukan air mancur berasap
Di tengah bilik-bilik wakil rakyat di bangunan tak berjendela
Lantai keras mengilap yang membuat lututmu bores jika nyosop
Tak mungkin main sepak bola di atas medan licin
Aku kebingungan mencari para pemuda di sekeliling
Kapan mereka duduk berbincang mencari inspirasi?
Berceloteh nakal seperti Gombloh atau ngidung ala Cak Dur
Bagaimana bisa berkarya dengan cemerlang
Satpam berkeliling meminta pengunjung tenang
Hus buang sampah ke tempatnya, dilarang onar, tak boleh begadang
Sebelum tengah malam kosongkan halaman kututup pagar
Aku bertanya-tanya kapan aku bisa naik pentas?
Panggung ini kecil sekali untuk kita berdua belas
Nylempit di balik kaca-kaca yang jernih memantulkan cahaya
Penonton harap sabar mari bergiliran meletakkan pantat
Itu pun kalah dengan jualan produk dan pentas dangdutan
Meski di sana gedung megah berdiri itu bukan buat kau
Bayarlah dulu baru engkau bisa belagu
Aku mencari dinding yang lapang untuk gambarku
Kupamerkan di hadapan mereka yang selalu sibuk mencari citra
Tak ada jadwal nonton bioskop di Gedung Mitra
Sekali waktu tolong engkau menengok sebentar ke dalam
Cat kusamnya perlu diganti atap bocor harus diperbaiki
Jika ada uang sedikit belikan lampu-lampu terang
Biar garis, warna, dan bingkai itu tersorot lebih dekat
Aku berkeliling mencari orang-orang baik hati
Yang tahu kapan Surabaya harus dikembalikan ke tempatnya
Eh ingat Tuan dan Nyonya, ini bukan zaman kolobendu
Ketika orang tinggi berambut pirang menyodok bola biliar
Heran, tugu di tengah itu hancur tapi mengapa hantunya tetap di situ?
Tak engkau larang, anjing saja malas mampir mengais makan
Apalagi aku pribumi yang datang dari Bulak Rukem dan Kenjeran
Haruskah aku bangunkan Bung Tomo, Mayjen Sungkono, Hasyim Asy’ari, atau Gubernur Suryo
Agar Indonesia Raya disenandungkan lagi dengan gesekan biola WR Supratman
Surabaya bukan Balai Pemuda semata-mata
Tapi dari sini cerminan beradab dan berbudaya itu bermula
Meski kau sulap menjadi Alun-Alun Surabaya tapi bukan lagi jadi pusat segala penjuru
Aku masih melihat kepalamu menoleh sana-sini
Tak pernah lurus melangkah ke depan seperti kereta berjalan
Ini Surabayaku sejak Raden Wijaya menang mengalahkan pasukan Mongol
Jangan sampai kau buat ambyar seperti nasi kucing tanpa karet
Surabaya, 11 Mei 2025