Tidak Mudah Menjadi Seniman, Banyak Syaratnya

Artikel, Berita96 Dilihat

SURABAYA, tretan.news – “Banyak yang ingin populer tapi tak sanggup berpeluh. Dikiranya alam bisa diakali tanpa diketaui orang lain. Dan, di ujung perjalanan memburu mimpi, mereka tersesat dalam labirin.”

Di zaman ketika satu video viral bisa melambungkan popularitas seseorang, obsesi menjadi seniman menjelma seperti membeli mi instan. Tinggal seduh, aduk lalu makan lalu berharap publik memberi standing ovation.

Hari ini, menjadi seniman bukan lagi perkara bernapas dalam sunyi sambil merenungi makna hidup tetapi tentang branding, apresian dan konten yang menawan.

Tak sedikit orang berpikir cukup tampil eksentrik, bicara ngelantur sok puitis, unggah karya seadanya maka dunia akan mengangkatnya ke panggung apresiasi. Sayangnya, panggung yang kokoh tidak dibangun dengan gaya-gayaan melainkan karya impresif.

Kegagalan menjadi seniman sejatinya bukan kutukan melainkan hasil dari kekeliruan yang berlangsung panjang. Lemahnya dedikasi dan intensitas, dangkalnya intelektualitas serta spiritualitas kering.

Banyak yang ingin naik ke langit tapi tak mau memanjat tangga pengetauan dan pengalaman yang memerah keringat, bahkan darah dan air mata.

Menjadi seniman itu tak ubahnya bercocok tanam, harus tau kapan menyemai, merawat dan menanti panen. Tapi generasi hari ini ingin hasil tanpa menabur, ingin panen tanpa berkeringat. Mereka cinta seni seperti cinta satu malam, gairahnya sesaat, tapi tanpa komitmen serius.

Ironisnya, banyak dari mereka yang terobsesi jadi seniman justru lebih sibuk mengubah penampilan agar terlihat berjiwa seni daripada mempertajam isi kepala.

Berpakaian nyentrik, bicara setengah absurd, selfie di studio sambil merokok dalam pose kontemplatif namun karya yang dihasilkan tak lebih dari tiruan setrngah matang, bantat.

Mereka lebih sibuk membuat biodata profil seniman daripada berkarya. Lebih sibuk tampil di forum-forum diskusi seni daripada membaca buku seni.

Lebih bangga dipanggil “seniman” oleh teman-temannya daripada diam-diam menulis puisi, melukis atau berlatih peran berjam-jam saat yang lain tidur.

SYARAT SENIMAN
Adagium berkata, “Seniman sejati adalah yang sanggup bersemedi dalam luka lalu melahirkan makna.”

Untuk menjadi seniman ada sejumlah syarat yang tak bisa ditawar, antara lain dedikasi, bukan hanya semangat sesaat tapi pengabdian jangka panjang.

Kedisiplinan: Waktu 24 jam sudah cukup, asal tidak dihabiskan untuk berwacana kosong.

Pengetahuan: Seni tanpa wawasan hanyalah kerajinan tangan yang tersesat. Keterampilan: Mengasah teknik ibarat menajamkan pisau, harus dilakukan setiap hari.

Spiritualitas: Agar karya tidak hanya memanjakan mata tapi juga menggugah jiwa. Karya yang diolah dengan hati maka kekuatannya akan menyentuh hati siapa pun. Sebaliknya, karya yang diolah dengan merekayasa pikiran kurang menarik perhatian.

Lihatlah perjalanan Affandi, pelukis legendaris yang hidup dalam kesederhanaan, rela mengayuh becak namun tetap melukis di sela peluh dan lapar.

WS Rendra yang membangun Bengkel Teater dari nol, membaca ratusan buku besar dan menghidupi panggung dengan kedalaman spiritual. Atau Sapardi Djoko Damono yang menulis puisi dengan bahasa sesederhana hujan namun sedalam samudra pengetauan.

Seniman besar tersebut tidak lahir dari kontes popularitas namun dari lorong-lorong sunyi. Dari meja kerja yang tak pernah bersih dari coretan ide. Dari kesetiaan pada proses yang menyiksa namun sarat nilai.

GILA PUJIAN
Fenomena tragis hari ini adalah lahirnya seniman-seniman dadakan yang menggilai pujian daripada proses. Mereka merasa sukses hanya karena mendapat seribu like padahal substansi karyanya melompong.

Ketika pujian datang terlalu cepat, kritik menjadi musuh. Mereka tidak bergairah belajar tapi hanya menunggu disanjung.

Mereka lupa bahwa panggung bukan tempat bermain-main melainkan medan spiritual, intelektual dan emosional. Panggung akan mempermalukan bagi yang belum matang. Dan seringkali yang tampil bukan menjadi bintang tapi badut.

Jangan ingin menjadi seniman hanya karena ingin hidup enak. Seni bukan profesi pelarian dari kerja keras tapi justru bentuk kerja keras yang tak kelihatan.

Jika hanya ingin tepuk tangan, masuklah ke dunia hiburan. Tapi jika ingin membekas dalam sejarah peradaban, siapkan tubuh dan jiwa untuk luka yang panjang.

Karena seniman sejati bukan mereka yang dipuja dalam semalam tapi yang tetap berkarya meski tak ada yang menonton.

Mereka yang memahami bahwa jalan seni bukan karpet merah tapi jalan setapak penuh onak yang mengantar manusia mendekati kemanusiaannya sendiri. Sebab menjadi manusia persoalan bagi manusia.

Oleh:
Rokimdakas
Pembantu Umum Publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *