SURABAYA, tretan.news – Saya sering heran juga sedikit geli melihat orang-orang yang hobi merawat kebencian. Terutama kepada Pak Jokowi. Sudah macam nenek-nenek ngeloni cucu, rasa benci itu dijaga, dielus-elus sampai ubun-ubunnya ‘njepat’.
Tapi yang dibenci? Santai bae, klewas-klewes ngemong cucu, ngopa-ngopi bareng tamu kehormatan sambil sesekali ngamati tanaman.
Dalam sebuah wawancara pernah ditanya, “Pak, kenapa nggak pernah balas mereka?” Jokowi cuma jawab enteng, “Buat apa? Nggak ada artinya.” Lho?!
Kebayang nggak, betapa kecilnya keberadaan para pembenci di mata beliau sampai jawabannya sesantai itu? Kalau mereka tau, mungkin bisa mati berdiri karena nggak dianggap.
Tapi bukannya sadar, para pembenci ini malah makin ‘ndadi’, mungkin kerasukan jin Tomang.
Mereka pikir, “Kalau nggak bisa ngalahin minimal bikin dia kesel!” Tapi apa dampaknya? Jokowi tetap adem, mereka saja yang tambah stres. Saking kerasnya membenci mereka jadi lupa diri.
Melihat mereka kadang heran juga sih. Apakah mereka beneran terdampak langsung oleh kebijakan politik? Atau jangan-jangan cuma korban retorika sesat sesama halu?
Kalau boleh jujur, merawat kebencian itu sama dengan menyiapkan bom waktu. Dari segi kesehatan sangat berbahaya lho.
Tiap kali rasa benci diumbar, otak stres, saraf tegang, jantung deg-degan, kepala panas. Udah kayak ketel uap mau meledak tuh.
Lama-lama, organ tubuh bisa rusak; jantung jebol, darah tinggi naik, akhirnya terkapar.
Yang lebih ironis, ketika jatuh sakit gara-gara benci, siapa peduli? Jokowi? Ya jelas enggak lah. Negara? Apalagi. Ujung-ujungnya? Biaya rumah sakit obok-obok tabungan.
Kalau duit nggak cukup? Ya bisa cepat-cepat pindah ke kuburan. Wassalam. Lalu teman-temannya cuma ngirim ucapan: Innalilahi … Belum tiga hari mereka sudah lupa kalo dia pernah hidup.
Publik juga membaca fenomena ini dengan penuh keheranan. Penampilan para pembenci kadang macam orang alim, pakai jubah, kalungan sajadah pertanda hobi sembahyang. Tapi kok pikirannya kayak jalan tol tanpa rambu? Ngegas nggak mikir keselamatan.
Bisa jadi mereka lupa kitab suci bukan sekadar dibaca tapi perlu direnungkan. Atau kalau udah bingung, ada baiknya kitabnya direndem sebulan lalu airnya diminum, biar hati dan pikirannya ayem.
Mungkin ini solusi yang belum mereka coba. Karena, serius deh, hidup itu singkat. Kalau isinya cuma benci, benci dan benci … Kapan bahagianya?
Apalagi kalau yang dibenci nggak balik membenci, malah hidupnya adem ayem. Yang rugi siapa?
Jadi, perlu merenung lah. Apakah kebencian layak dipelihara? Atau lebih baik belajar dari Jokowi; rileks, fokus ngemong cucu, dan biarkan pembenci sibuk dengan urusannya sendiri. Toh, kebahagiaan nggak datang dari kebencian tapi dari hati yang damai. Sesekali ngopi dah …