Berduka di Hari Pers 2025

Penulis Esai : Rokimdakas

Artikel, Berita, Sosial113 Dilihat

SURABAYA, tretan.newsSetiap menginjak Februari ruang media di Indonesia riuh dengan ucapan “Selamat Hari Pers.” Namun di balik seremonial ini ada pertanyaan yang lebih patut  diajukan: Apanya yang selamat? Mungkin lebih tepatnya, “Berduka di Hari Pers 2025.”

Saat ini ribuan media online tumbuh liar tanpa kendali, ketika kode etik diinjak-injak demi klik dan sensasi, ketika wartawan sebagai profesi yang seharusnya mulia dipenuhi oleh mereka yang bahkan tak paham makna jurnalistik. Apakah pers masih layak disebut pilar demokrasi?

Di tengah kekacauan ini, keberadaan Dewan Pers serupa bebek lumpuh, suaranya keras, garang dalam narasi tapi loyo dalam aksi, tak mampu bertindak. Lembaga yang seharusnya menjadi penjaga marwah jurnalisme justru lebih mirip wasit pertandingan yang hanya bisa meniup peluit tanpa bisa memberi kartu merah.

Mereka sibuk mengadakan uji kompetensi wartawan tetapi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini  justru melahirkan lulusan “wartawan ber-UKW abal-abal” yang semakin memperburuk citra pers. Program kejar omzet tersebut dimanfaatkan oleh media abal-abal untuk menaikkan status wartawannya yang tidak memenuhi standar agar memiliki sertifikat UKW.

WARTAWAN BODREK
Media yang sehat adalah cerminan masyarakat yang sehat. Sebaliknya, media yang sakit menunjukkan bahwa ada yang busuk dalam tatanan sosial kita. Saat ini kita menghadapi fenomena di mana siapa pun bisa mendirikan media dengan modal murah.

Dengan satu klik, seseorang bisa menjadi “pemimpin redaksi”, dengan satu unggahan ia bisa membangun narasi tanpa verifikasi. Hasilnya adalah jurnalisme sensasional, penuh propaganda, sangat jauh dari nilai-nilai kebenaran.

Dari sekitar 60.000 media massa di Indonesia hanya 1.500 yang terverifikasi Dewan Pers. Fakta ini bukan sekadar angka, melainkan indikasi betapa lemahnya pengawasan pers di negeri ini.

Ironisnya, bukan hanya media yang sakit tetapi wartawan pun terjangkit penyakit yang sama. Profesi yang dulu dipandang sebagai benteng kebenaran kini dihuni oleh wartawan bodrek, preman berjubah pers yang lebih suka meneror daripada melaporkan.

Sebagian besar media saat ini bahkan tidak menggaji wartawannya. Mereka dibiarkan “berburu sendiri,” mencari penghasilan dari iklan, kerja sama “liputan berbayar,” atau lebih buruk lagi memanfaatkan profesinya untuk menekan dan mengintimidasi. Pers yang seharusnya mengawal moral justru kehilangan moralnya sendiri.

DOSA BESAR
Sejak reformasi, Dewan Pers mengalami transformasi menjadi lembaga independen. Tujuannya mulia, menjaga kebebasan pers dan meningkatkan profesionalisme media.

Tetapi, apa yang terjadi sekarang? Alih-alih menjadi penjaga gawang demokrasi, Dewan Pers justru lebih mirip birokrasi yang sibuk dengan prosedur tanpa solusi konkret.

Regulasi memang ada tetapi pengawasan lumpuh. Mereka bisa mengecam, tetapi tak bisa membredel. Mereka bisa mengkritik tetapi tak bisa menghukum.

Mereka bisa mengeluarkan sertifikasi tetapi tak bisa memastikan kualitasnya. Jika terus begini, Dewan Pers bukan hanya bebek lumpuh tetapi juga macan kertas, terlihat garang bertaring tetapi tak berdaya menghadapi ganasnya realitas media digital.

Salah satu dosa besar reformasi adalah kemudahan mendirikan media tanpa mekanisme kontrol yang ketat. Seperti yang dikatakan Dr. Dhimam Abror Djuraid, Dewan Pakar PWI Pusat, “Lebih sulit mendirikan usaha tempe dibanding mendirikan media.”

Betapa mirisnya, ketika industri yang seharusnya menjadi benteng informasi justru menjadi ladang bisnis tanpa aturan yang jelas.

SETENGAH IBLIS
Hari Pers Nasional 2025 seharusnya menjadi momentum evaluasi besar-besaran. Pers yang sehat hanya bisa lahir dari sistem yang sehat. Maka, ada beberapa langkah yang harus segera diambil.

Melakukan regulasi yang ketat dan tegas. Pemerintah dan Dewan Pers harus menata ulang mekanisme pendirian media. Tidak semua orang bisa mendirikan media tanpa standar yang jelas. Media abal-abal harus segera ditertibkan.

Penegakan hukum terhadap wartawan gadungan. Wartawan bukan profesi yang bisa digunakan sebagai alat pemerasan. Harus ada sanksi tegas bagi mereka yang menyalahgunakan identitas wartawan untuk kepentingan pribadi.

Uji Kompetensi Wartawan (UKW) harus diperketat dan dibuat lebih kredibel. Jangan sampai sertifikasi ini justru menjadi “sertifikat bodong” yang meloloskan wartawan tanpa kompetensi.

Pendidikan jurnalistik yang berorientasi pada etika. Kampus-kampus dan lembaga pelatihan jurnalistik harus memastikan bahwa lulusan mereka benar-benar memahami nilai-nilai jurnalistik yang sesungguhnya.

Jika langkah-langkah ini tidak segera dilakukan, pers Indonesia akan semakin terpuruk. Kita akan melihat semakin banyak “setengah iblis” dalam dunia jurnalistik dibanding “setengah malaikat.” Dan jika itu terjadi demokrasi yang kita bangun selama ini akan berada dalam lampu merah. Ironis!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *