SURABAYA, tretan.news – Hari ini, 21 Mei 2025, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) genap berusia 52 tahun. Namun alih-alih menjadi momen refleksi dan konsolidasi untuk memperjuangkan nasib nelayan, peringatan ini justru dibayang-bayangi oleh konflik dualisme kepengurusan yang mencederai semangat pendirian organisasi. Ironisnya, konflik ini bukan lahir dari akar rumput nelayan, melainkan dari manuver politik kekuasaan.
HNSI didirikan pada 21 Mei 1973 sebagai hasil penyatuan enam organisasi nelayan, dengan semangat kolektif untuk memperjuangkan kesejahteraan nelayan Indonesia. Organisasi ini sejak awal ditegaskan sebagai independen, non-partisan, tidak menjadi underbow partai politik mana pun. HNSI adalah rumah besar bagi seluruh nelayan di Indonesia tanpa memandang latar belakang politik.
Namun sejarah kini dibelokkan. Tepat di penghujung masa jabatannya sebagai Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengesahkan dua Surat Keputusan yang menimbulkan polemik. Pada 4 November 2023, ia menandatangani SK AHU-0001530.AH.01.08 untuk hasil Munas HNSI di Bogor yang mengukuhkan Laksamana (Purn) Sumardjono sebagai Ketua Umum berdasarkan dukungan mayoritas DPD dan sesuai AD/ART organisasi. Namun hanya enam hari kemudian, ia kembali menerbitkan SK AHU-0001561.AH.01.08 untuk Munas tandingan di Bali yang menetapkan Herman Herry sesama kader PDIP sebagai Ketua Umum.
HNSI DIBAJAK
Dua SK dalam waktu seminggu, untuk organisasi yang sama, jelas menciptakan dualisme legalitas yang sangat merugikan nelayan. Ini bukan sekadar konflik kepengurusan tapi pengkhianatan terhadap sejarah dan mandat organisasi. HNSI dibajak oleh kepentingan politik sempit.
Padahal, revitalisasi HNSI melalui Munas Bogor dilakukan demi menjawab kebutuhan nyata nelayan. Program-program prioritas telah dirancang mencakup pemetaan distribusi BBM subsidi yang belum merata, pendataan nasional nelayan yang masih belum jelas, perlindungan sosial yang belum optimal juga penguatan koperasi sebagai basis ekonomi pesisir.
Nelayan Indonesia menghadapi banyak tantangan, eksploitasi berlebih atas sumber daya laut, pencurian ikan oleh kapal asing, kebijakan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah, serta ketidakpastian hukum di laut.
Menurut data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), lebih dari 70% nelayan tradisional hidup di bawah garis kemiskinan. Namun di tengah krisis ini, organisasi yang seharusnya menjadi alat perjuangan justru dijadikan alat politik kekuasaan.
HARUS DICABUT
Sudah saatnya pemerintah bersikap tegas. Negara tidak boleh membiarkan sejarah organisasi ini direduksi oleh “petugas partai” demi kepentingan pribadi atau kelompok. Jika dibiarkan, bukan hanya organisasi yang terpecah, tapi nasib jutaan nelayan ikut dipertaruhkan.
Pemerintah wajib mengoreksi keputusan yang keliru. HNSI harus dikembalikan kepada khitah-nya sebagai organisasi independen yang memperjuangkan harkat dan martabat nelayan. Negara harus hadir bukan untuk memecah melainkan mempersatukan.
Dengan usia lebih dari setengah abad, HNSI seharusnya menjadi kekuatan strategis dalam pembangunan kelautan Indonesia. Bukan sekadar papan nama, alat perjuangan yang hidup dan hadir di tengah-tengah nelayan.
Dan itu hanya bisa terwujud jika sejarahnya kembali diluruskan, legalitasnya ditegaskan, kepentingan politik dicabut dari tubuh organisasi ini.
Nelayan Indonesia butuh kepastian, bukan kekisruhan. HNSI adalah milik mereka bukan milik partai. Maka di usia ke – 52 ini, mari kita rebut kembali organisasi ini dari permainan politik kotor. Demi masa depan nelayan, demi keadilan di lautan, demi sejarah yang tidak boleh dibelokkan.
Penulis:
Rokimdakas
Pembantu Umum Masyarakat