SURABAYA, tretan.news – Di tengah realitas yang sering kali tak masuk akal, seni rupa menemukan pelariannya dalam surealisme. Aliran ini lahir di Eropa pasca-Perang Dunia I sebagai bentuk perlawanan terhadap rasionalitas kaku yang dianggap gagal mencegah kehancuran dunia.
Surealisme menawarkan jalan masuk ke dunia bawah sadar, mimpi dan ilusi pada wilayah batin yang tak bisa dijelaskan logika. Dan di Indonesia, aliran ini menemukan tanah yang subur.
Indonesia bukan hanya negeri dengan keragaman budaya, tetapi juga kerumitan sosial dan politik yang kerap membuat kenyataan terasa lebih absurd daripada fiksi. Dalam lanskap ini, banyak perupa tertarik menggunakan pendekatan surealis.
Ivan Sagita, misalnya, dikenal dengan lukisan-lukisan yang memancarkan kesunyian mistis. Figur-figurnya seperti melayang antara dunia nyata dan gaib. Sementara Heri Dono membawa surealisme ke ranah satire, dengan menciptakan karakter hibrida antara wayang, manusia, dan mesin dalam kritik terhadap politik dan kekuasaan.
Surealisme di tangan perupa Indonesia bukan sekadar gaya atau teknik. Ia adalah strategi ekspresi untuk menghindar dari sensor, menantang logika kekuasaan, dan merangkul absurditas dunia sebagai bentuk kejujuran estetis. Ia juga menjadi jembatan antara warisan tradisional yang sarat simbol dan semangat modernitas yang gelisah.
PENDATANG BARU
Di Timur Jawa beberapa perupa yang mendulang surealisme untuk membongkar kesumpekan hidup melalui tema-tema satir. Diantaranya, Amang Rahman, Hening Purnamawati, Kubu Sarawan, Ivan Harianto dan Supar Pakis. Mereka menyuarakan kegelisahan pribadi maupun kritik sosial. Menggali mitos, spiritualitas lokal juga trauma kolektif bangsa dalam bahasa simbolik yang kaya makna.
Kini tongkat estafet surealisme sedang diteruskan oleh pelukis muda, Soiful asal Sampang, Madura. Sebagai pendatang baru, Alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut menggelar karyanya di Galeri Filadelvia Surabaya. Pameran tunggal Soiful berlangsung dari tanggal 20 Mei hingga 3 Juni 2025.
Dalam dunia yang makin kehilangan makna, mungkin hanya surealisme yang mampu melukiskan kenyataan. Bagi banyak perupa, itu bukan pelarian melainkan panggilan.
Oleh :
Rokimdakas
Pembantu Umum
kreatorokim@gmail.com
Surabaya, Senin, 19 Mei 2025