Remang-Remang Sejarah Babi: Dicaci Tapi Dicari

Artikel, Berita70 Dilihat

SURABAYA, tretan.news – Ada cerita menarik dari Presiden Rusia, Vladimir Putin. Saat seorang menterinya mengusulkan ekspor daging babi ke Indonesia, Putin tertawa dan berkata, “Indonesia itu menolak babi tapi kalau minuman alkohol sih oke.”

Sindiran ini menyingkap ironi di negeri kita, masyarakat begitu ketat terhadap larangan daging babi namun longgar terhadap minuman keras.

Mengapa babi begitu ditakuti? Apakah sekadar soal agama atau ada kisah yang lebih panjang?

Sekitar 10.000 tahun lalu, di wilayah Fertile Crescent atau Mesopotamia, Levant, Palestina, dll yang disebut sebagai kawasan “Bulan Sabit Subur” – karena bentuk wilayahnya seperti bulan sabit – manusia mulai bertani dan memelihara ternak. Domba, kambing, dan sapi dipelihara karena bermanfaat, bisa digembala, menghasilkan susu serta tahan cuaca panas.

Babi? Tidak.
Babi butuh banyak air, tak bisa digembala, makannya sama seperti manusia, cepat berkembang biak. Dalam kondisi kekeringan dan krisis pangan keberadaan babi dianggap sebagai saingan manusia. Maka, pelarangan mulai muncul pertama sebagai aturan sosial, lalu menjadi hukum agama.

Beberapa referensi bisa disimak, seperti buku karya Rod Preece “The Pig: A Symbol of Spirit”, Marvin Harris “Good to Eat: Riddles of Food and Culture”. Larangan makan babi muncul di agama-agama besar, seperti Leviticus 11:7 & Deuteronomy 14:8 (Yahudi & Kristen). Al-Baqarah 2:173 (Islam).

Tetapi antropolog Mary Douglas dalam bukunya Purity and Danger menyatakan, pelarangan ini lebih karena simbolik. Babi dianggap “tidak masuk akal” menurut klasifikasi hewan suci, ia tidak memamah biak, meski berkuku belah. Dalam dunia purba, keanehan itu cukup untuk menyebutnya najis.

ASIA TIMUR
Beda wilayah beda pula hukumnya tentang babi. Jika di kawasan gurun babi dianggap mengancam kebutuhan pangan manusia maka tidak demikian di wilayah Asia Timur yang subur. Di Cina, Vietnam, Korea, hingga Filipina, babi justru jadi sumber pangan utama. Daging babi dianggap lebih nurah, cepat besar, dan kaya rasa. Bahkan jadi simbol zodiak dalam kalender Cina.

Brett Mizelle dalam “Pig: A Global History” menyebut babi sebagai hewan paling “global” karena cepat menyebar dan diterima di banyak budaya kecuali budaya Semit seperti Arab dan Yahudi.

Indonesia menolak tapi diam-diam mengkonsumsi. Meskipun mayoritas warganya ber-KTP Muslim, Indonesia tetap punya banyak komunitas yang mengonsumsi babi secara legal dan budaya. Kuliner Batak, Bali, Toraja, Tionghoa, dan Papua mewarnai catatan khusus.

Di satu sisi ditolak keras, di sisi lain tetap dicari. Bahkan industri kuliner babi berkembang di pasar-pasar tertentu.

Membicarakan babi bukan soal mendorong konsumsi. Tapi soal memahami, bahwa setiap larangan punya konteks sejarah, ekologi maupun budaya.

Ilmu pengetauan telah membuka misteri-misteri yang dulu hanya bisa dijelaskan dengan mitos. Dengan memahami latar sejarah, kita bisa jadi umat yang tak hanya taat tapi juga cerdas dan terbuka. Tidak tabu untuk berpikir. Tidak buta pada realita.

Pesan moral dari tulisan esai ini adalah, jangan takut belajar hal-hal yang dianggap sensitif. Dengan ilmu, misteri kehidupan bisa dijawab – bukan hanya dengan larangan tapi juga dengan pemahaman.

“Jika Tuhan menciptakan akal, maka menggunakannya adalah ibadah tertinggi.”

Oleh:
Rokimdakas
Penulis Esai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *