SURABAYA, Tretan.News – Kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo yang kini menjerat delapan orang tersangka menjadi pelajaran hukum yang amat mahal bagi publik.
Di tengah era keterbukaan informasi, masih banyak yang gagal memahami bahwa kebebasan berekspresi bukan kebebasan untuk memanipulasi fakta. Batas antara kritik dan fitnah semakin kabur, hingga akhirnya sejumlah figur harus berhadapan dengan pasal-pasal pidana yang tidak ringan.
RANJAU DFK
Selama berbulan-bulan, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma menggaungkan isu tentang dugaan pemalsuan ijazah Presiden Joko Widodo. Melalui media sosial dan kanal digital, narasi ini menyebar luas tanpa dasar verifikasi yang sahih. Hasilnya? Publik terbelah.
Sebagian masyarakat yang termakan oleh DFK – disinformasi, fitnah, dan kebencian ikut menyebarkan tuduhan serupa. Sementara pihak lain berupaya menepisnya dengan nalar dan bukti akademik. Pertarungan opini di dunia maya pun berubah menjadi arena polarisasi sosial yang menurunkan mutu diskursus publik.
Namun, sebagaimana hukum bekerja, waktu akhirnya menjawab. Kasus ini berakhir di pengadilan, bukan di ruang debat media sosial.
Pada Jumat, 7 November 2025, Polda Metro Jaya resmi menetapkan delapan orang tersangka dalam dua klaster.
Klaster pertama terdiri dari Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Muhammad Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis. Sementara klaster kedua melibatkan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma.
Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Asep Edi Suheri, pembagian klaster dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan dan modus penyebaran informasi.
Para tersangka terbukti berperan menyebarkan konten digital berisi tuduhan pemalsuan ijazah tanpa dasar hukum yang sahih.
Mereka dijerat pasal berlapis, mulai dari Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah, hingga sejumlah pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), seperti Pasal 27A, Pasal 28 Ayat (2), Pasal 35, dan Pasal 51 Ayat (1).
Ancaman pidananya tidak main-main: penjara hingga 12 tahun dan denda maksimal Rp 12 miliar.
KRISIS LITERASI
Sebagian pihak mungkin melihat kasus ini sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berpendapat. Namun jika ditelisik lebih dalam, perkara ini bukan tentang perbedaan pandangan politik, melainkan tentang tanggung jawab moral dan hukum dalam menggunakan kebebasan berekspresi.
Hukum hadir bukan untuk membungkam kritik, melainkan melindungi integritas dan akurasi informasi yang menjadi fondasi keadaban publik.
Ketika sebuah tuduhan disebar tanpa bukti, apalagi terhadap kepala negara, itu bukan lagi ekspresi, melainkan pelanggaran terhadap kehormatan dan kepercayaan publik.
Fenomena disinformasi ini memperlihatkan betapa rentannya masyarakat terhadap manipulasi informasi di ruang digital.
Literasi hukum dan digital di Indonesia masih rendah, bahkan di kalangan yang dianggap berpendidikan. Banyak yang tidak memahami bahwa setiap unggahan di media sosial memiliki konsekuensi hukum yang sama seriusnya dengan pernyataan di ruang publik nyata.
UU ITE bukan hanya payung hukum tapi juga peringatan keras bagi siapapun yang menggunakan media digital untuk menyebar fitnah dan kebencian. Hukum di era digital menuntut masyarakat untuk berhati-hati. Berpikir sebelum mengetik, menelusuri sebelum membagikan.
PELAJARAN MAHAL
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi masyarakat. Jangan mudah percaya pada isu yang belum terverifikasi, apalagi ikut menyebarkannya. Sekali jari Anda menekan tombol “bagikan,” bisa jadi Anda ikut menjadi bagian dari rantai disinformasi yang berujung pidana.
Bagi Roy Suryo dan kawan-kawan, kasus ini menjadi catatan pahit tentang bagaimana nama besar tidak menjamin kebijaksanaan digital.
Bagi masyarakat luas, ini adalah momentum untuk membangun kesadaran hukum dan etika bermedia agar ruang publik digital tidak lagi menjadi kubangan kebencian, melainkan arena berpikir yang sehat dan beradab.
Esai:
Rokimdakas
Penulis Surabaya







