Pelukis Triyoso Yusuf Mengabadikan Kekayaan Desa

Penulis Esai : Rokimdakas

Artikel, Berita, Budaya108 Dilihat

SURABAYA, tretan.news – Tinggal di Wonosalam, lereng Gunung Anjasmoro, Jombang, memberikan inspirasi tak terbatas bagi pelukis Triyoso Yusuf. Lingkungan hijau dengan kebun durian, salak, alpukat, rambutan, nanas dan pisang menjadi sumber ide yang tak henti mengalir.

Ia tidak sekadar merekam pemandangan melainkan menangkap esensi kehidupan di dalamnya. Suasana hangat, kebersamaan dan tradisi yang terawat. Melalui karya-karyanya, Triyoso Yusuf membuktikan bahwa seni bukan sekadar ekspresi pribadi tetapi juga cara untuk merayakan kehidupan dan mengabadikan kekayaan alam serta budaya dalam bentuk yang tak lekang oleh waktu.

Segala kenangan yang menghiasi masa kecil dan pertumbuhan Triyoso Yusuf kini menjelma menjadi karya seni penuh warna. Melalui kanvas, ia mengabadikan keindahan alam, kehidupan masyarakat serta kesenian tradisional dengan gaya ekspresif dan figuratif.

Dari tanggal 8 hingga 13 Februari, Galeri Merah Putih di Komplek Balai Pemuda, Surabaya menjadi saksi perjalanannya. Ruang pameran ini memiliki sejarah panjang, semula berupa sekretariat Angkatan 66 kemudian workshop kesenian hingga sekretariat Festival Seni Surabaya, sebelum akhirnya menjadi ruang apresiasi seni rupa.

Kini, di tempat bersejarah itu, Triyoso memamerkan karya-karya yang menghidupkan kembali nuansa masa lalu dengan sapuan warna yang dinamis.

SUASANA GEMBIRA
Mengamati karya Triyoso, kesan pertama yang muncul adalah pengaruh Hendra Gunawan. Triyoso tak menampik hal itu. Ia memang berkiblat pada tiga pelukis besar, yaitu Affandi, Antonio Blanco, dan Hendra Gunawan, para maestro Indonesia.

Figurasi objek-objeknya kental dengan nuansa karikatural, sementara goresannya ekspresif, memperlihatkan dominasi warna coklat dengan aksentuasi biru langit dan kuning kunyit. Kombinasi ini menghadirkan kesan komposisi yang padat dan bertenaga.

Triyoso bukan sekadar melukis, ia menangkap suasana, menghadirkan keceriaan dalam setiap karyanya. Salah satu lukisan yang mencuri perhatian dalam pameran ini adalah Bancakan Salak, menggambarkan orang-orang berkumpul mengelilingi ‘tumpeng’ buah salak dengan penuh tawa.

Nuansa serupa juga tampak dalam Kenduren Wonosalam, Jazz Jawi, dan berbagai adegan pagelaran wayang kulit.

Salah satu karya yang langsung mendapatkan apresiasi adalah Kenduren Wonosalam yang menggambarkan pesta durian di Wonosalam, Jombang. Lukisan berukuran 100 x 150 cm itu terjual kepada seorang kolektor bernama Ibu Endah. “Melihat lukisan ini, saya merasa larut dalam suasana perayaannya,” ujarnya.

DIGITAL KE KANVAS
Triyoso Yusuf bukan nama baru di dunia seni. Ia adalah alumni SMKN 12 Surabaya yang selama 18 tahun berkiprah sebagai desainer produk, termasuk merek biskuit UBM dan AIM. Dalam rentang waktu itulah dia lebih dikenal sebagai pelukis digital. Namun, pada 2016 memutuskan beralih ke media kanvas.

Keputusannya tak sia-sia. Karya-karyanya bertema wayang purwa langsung mendapat respons positif di Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) Surabaya. Delapan lukisan pertamanya laris terjual. Sejak itu Triyono semakin menekuni seni lukis konvensional.

Figur Semar kerap menjadi inspirasinya. Bahkan, dua karyanya kini menjadi koleksi Presiden SBY setelah dipamerkan di Malang pada 2023. Karya lainnya juga dikoleksi Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, serta kolektor dari Malaysia, Singapura, dan Belanda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *