SURABAYA, tretan.news – Umat yang bodoh jadi obyek industri religi yang semakin lihai menjual ilusi atas nama Tuhan.
Agama sejatinya adalah jalan pencerahan bukan jebakan yang mengurung akal dalam ruang sempit dogma tanpa tafsir integral. Namun, dalam realitas sering kita saksikan, agama justru menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Mereka yang kurang cerdas dalam beragama mudah dijadikan obyek oleh industri religi.
Mereka dipermainkan dengan janji-janji surgawi yang tak pernah dilihat oleh sang pemberi janji itu sendiri. Agama yang seharusnya menjadi sumber kebijaksanaan justru dipolitisasi dan dimanipulasi demi kepentingan segelintir orang yang gaya hidupnya hedonisme berkedok spiritualitas.
APA IKUT MAJU?
Umat era informasi seperti sekarang seharusnya lebih kritis dalam memahami agama. Jika dulu pengetauan hanya bisa diakses melalui jalur tertentu dan kerap dikendalikan oleh otoritas keagamaan, sekarang segala hal bisa dipelajari dengan lebih luas dan mendalam.
Literasi digital memungkinkan siapa pun menggali wawasan dari berbagai sumber, baik dalam bentuk kitab klasik yang terdokumentasi secara daring maupun diskusi intelektual yang semakin terbuka.
Bahkan kecerdasan buatan (AI) hadir sebagai mitra dialog yang dapat membantu menelusuri sejarah, membedah tafsir, hingga meruntuhkan mitos-mitos yang selama ini dijadikan alat kendali.
Peradaban semakin maju tetapi apakah umat beragama ikut maju dalam cara berpikir?
MELARIKAN DIRI
Di Indonesia, dampak teknologi informasi juga membuka dua jalan yang bertolak belakang. Sebagian masyarakat memanfaatkan kemajuan ini untuk berpikir lebih luas sementara sebagian lainnya justru semakin terjebak dalam romantisme masa lalu.
Mereka yang gagap menghadapi perubahan cenderung melarikan diri ke balik tumpukan dogma yang bahkan dalam banyak hal telah terbukti bertentangan dengan temuan ilmu pengetahuan.
Ketidakmampuan berdialog dengan zaman membuat mereka semakin rigid, defensif, dan mudah dimanfaatkan oleh kepentingan politik atau industri religi yang terus berkembang.
Islam misalnya, setelah wafatnya Nabi Muhammad lebih banyak diwarnai tarik-menarik kepentingan politik dibandingkan murni ajaran spiritual. Perpecahan menjadi keniscayaan dan klaim kebenaran kian bercabang yang melahirkan ribuan sekte dengan interpretasi masing-masing.
AROGANSI MAYORITAS
Di negara-negara di mana Islam menjadi mayoritas dekadensi moral sering kali justru lebih tampak dibandingkan nilai-nilai spiritualitasnya.
Di Indonesia, fenomena seperti “ustadz seleb,” bisnis wisata religi ke Timur Tengah hingga dominasi agama dalam ranah politik, ekonomi, sosial dan hukum menunjukkan bagaimana agama seringkali bukan lagi menjadi rahmat bagi semesta melainkan alat penguasaan yang melahirkan beragam bentuk arogansi.
Fenomena ini sejatinya bukan sekadar persoalan Islam, tetapi agama pada umumnya. Ketika agama kehilangan substansinya dan lebih diwarnai permainan kekuasaan maka yang terjadi bukan pencerahan melainkan kegelapan yang dibungkus dengan jargon suci.
Bung Karno pernah berkata, “Pelajari Islam, ambil apinya, jangan abunya.” Api di sini adalah semangat pembebasan dan pencarian kebenaran yang dinamis. Sedangkan abu adalah sisa-sisa dogma usang yang tidak lagi relevan dalam perjalanan zaman.
Itulah sebabnya semakin banyak orang yang memandang agama bukan sebagai ikatan komunal melainkan sebagai jalan spiritual yang lebih personal. Tidak butuh berjamaah karena sejatinya hidup menjalani ujian sendiri-sendiri. Jika tidak lulus salahnya sendiri.
BELUM SEMPURNA
Untuk bisa menyelaraskan antara iman dan akal dibutuhkan keteguhan berpikir dan keberanian untuk bertanya. Tanpa itu, agama hanya akan melahirkan fundamentalisme di satu sisi dan ultra-nasionalisme di sisi lain, dua kutub yang sama-sama berbahaya.
Pemikiran manusia terus berkembang, itu adalah sunnatullah, bagian dari dinamika peradaban. Kata “sempurna” dalam Islam seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang final padahal kesempurnaan itu merujuk pada fase budaya Muhammad pada zamannya. Setelah itu peradabanlah yang menyempurnakan.
Bahkan huruf Arab yang kita baca saat ini belum sekomplit seperti di masa awal Islam, pola bacaannya pun dulu sangat dipengaruhi oleh karakteristik kesukuan. Maka jika kata “sempurna” dimaknai sebagai sesuatu yang final dan tertutup, justru bisa mematikan daya pikir manusia.
Agama seharusnya menjadi alat pembebasan bukan penjara intelektual. Jika beragama hanya berarti menerima tanpa berpikir maka umat akan terus menjadi objek dari industri religi yang semakin lihai dalam menjual ilusi atas nama ketuhanan.