Renungan 2024: Kami Butuh Tindakan Nyata

Wartawan & Penulis Oleh : Rokimdakas

Artikel, Berita111 Dilihat

Tretan.news – Demokrasi adalah ruang bising. Sebuah orkestra di mana setiap suara, dari lantunan harapan hingga nada sumbang kritik berhak mengisi panggung.

Namun dalam kebisingan itu kita kerap lupa bahwa negeri ini masih seperti pohon muda akarnya dalam tanah belum kokoh, bergulat dengan badai pembangunan dan bayangan masa lalu.

Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi menjadi babak unik dalam perjalanan panjang republik ini.

Di banyak sudut dunia pembangunan massif sering kali membutuhkan kekuasaan tunggal yang otoriter. Tapi tidak dengan Indonesia di bawah Jokowi.

Demokrasi yang penuh suara, kadang kritis, kadang nyinyir tidak menghentikan langkahnya. Seperti karang kokoh meski diterjang ombak, Jokowi terus melangkah.

Dari deretan jalan tol yang menjangkau pelosok hingga gagasan besar Ibu Kota Nusantara sebagai bukti bahwa pembangunan dan demokrasi tidak selamanya bertolak belakang.

Namun di balik kesuksesan itu kebisingan demokrasi sering berubah menjadi bumerang. Di panggung- panggung politik, kritik kehilangan adab berubah jadi penghujatan.

Di layar kaca suara-suara sinis lebih sering menggaung daripada apresiasi. Seolah lupa bahwa demokrasi bukan hanya soal kebebasan berbicara tetapi juga tanggung jawab agar berpikir sehat.

PECAH KONGSI
Sejarah mencatat bagaimana Jokowi, seorang anak rakyat mampu menaklukkan puncak kekuasaan yang sebelumnya didominasi oleh elite politik dan militer.

Tetapi di ujung masa kepemimpinannya, friksi dengan PDI-P, partai yang membesarkannya menjadi lembaran baru. Dari seorang kader yang diusung partai, Jokowi menjelma menjadi kekuatan politik mandiri.

Sebuah “Partai Perorangan” yang mampu mengalahkan PDI-P dalam dua pertarungan besar: Pilpres dan Pilkada.

Pecah kongsi itu tak hanya menjadi akhir hubungan politis tetapi juga awal dari babak baru perpolitikan Indonesia. Pemecatan Jokowi dan keluarganya dari PDI-P adalah bukti bahwa kekuasaan sering kali tidak mengenal balas budi.

Namun di tengah drama politik itu harapan muncul. Ketika ada kekuatan besar terpecah sering kali lahir ruang untuk perubahan yang lebih segar.

DIMANA KEADILAN?
Tahun 2024 juga menjadi cermin buram keadilan di negeri ini. Di awal pemerintahan Prabowo operasi pemberantasan korupsi bergerak cepat.

Namun di balik keberhasilan menangkap para pelaku, ironi tak terhindarkan. Ketika seorang perampok 300 triliun hanya dihukum enam tahun penjara, sementara pencuri kecil dihukum berat, kita bertanya: di mana keadilan itu?

Presiden Prabowo menyuarakan kegusarannya tetapi suara saja tidak cukup. Keadilan adalah kain lusuh yang harus dicuci bersih bukan sekadar ditambal. Karena bangsa ini butuh lebih dari sekadar slogan.

“Kami butuh tindakan nyata.”

Tahun 2024 telah berlalu, membawa serta kebisingannya, paradoksnya juga ujian bagi nalar sehat. Namun seperti fajar yang tak pernah absen di setiap hari baru, harapan harus tetap menyala. Demokrasi, meski sering terasa seperti medan pertempuran adalah ladang subur di mana masa depan bisa ditanam.

Kita tak bisa menutup mata terhadap kemunafikan para elite. Tapi harapan bahwa rakyat Indonesia akan terus bertumbuh menjadi bangsa yang lebih bijak dan bernalar sehat adalah keyakinan yang harus terus dijaga. Demokrasi pada akhirnya bukan soal siapa yang berbicara paling keras tetapi siapa yang berpikir paling jernih.

Di tengah kebisingan dan kepalsuan mari kita menjadi lilin kecil yang menerangi ruang gelap.

Selamat Tahun Baru 2025.
Saatnya menyulam kenyataan
Menjadi lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *