Kafir Islam, Merusak Islam Dari Dalam

Penulis Esai : Rokimdakas

Artikel, Berita, Religi148 Dilihat

SURABAYA, tretan.news – Islam adalah agama rahmatan lil alamin, cahaya yang membawa kasih sayang bagi seluruh alam. Alam sosial, politik, ekonomi, dan yang lainnya juga flora maupun fauna. Namun apa jadinya ketika sebagian pemeluknya justru menjadi sumber ketakutan dan kebencian?

Ironis, mereka mengatas-namakan Islam namun perilakunya jauh dari nilai-nilai Islam yang hakiki. Golongan inilah yang oleh para ulama disebut sebagai kafir Islam. Mereka yang merusak Islam dari dalam, seperti rayap yang menghancurkan kayu tanpa disadari pemiliknya.

BERKEDOK AGAMA

Setiap Ramadan sekelompok orang yang merasa dirinya paling suci berubah menjadi algojo jalanan. Mereka melakukan teror berkedok agama. Dengan mata penuh amarah dan mulut menyemburkan ancaman, mereka merazia warung-warung yang tetap buka siang hari. Pedagang yang mencari nafkah secara halal menjadi korban kekerasan verbal bahkan fisik.

Apakah mereka ini wakil Tuhan? Apakah mereka telah diangkat menjadi penegak hukum syariat oleh negara? Jika pun ada yang berdalih bahwa tindakan mereka adalah bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bukankah Islam mengajarkan kelembutan dalam berdakwah? Bukankah Rasulullah sendiri memilih jalan kasih sayang, bukan pemaksaan?

Mereka lupa bahwa dalam Islam tidak ada paksaan dalam beragama. Tidak ada paksaan dalam beribadah. Orang yang berpuasa harus tetap menghormati mereka yang tidak berpuasa, sebagaimana mereka yang tidak berpuasa harus menghormati bulan suci ini. Inilah keseimbangan sosial yang diajarkan oleh Islam.

Namun para kafir Islam ini bertindak seolah-olah menjadi Tuhan yang Maha Kejam. Padahal di balik keganasannya tersimpan kemunafikan. Mereka beringas kepada pedagang kecil tetapi diam seribu bahasa saat melihat ketidakadilan yang lebih besar, korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial.

AKSI INTOLERAN

Tidak hanya merazia warung, aksi intoleran juga menjalar ke tempat ibadah umat lain. Kejadian di Arca Manik, Bandung, di mana ibadah Rabu Abu umat Katolik diganggu oleh kelompok yang mengaku muslim, adalah aib bagi Islam itu sendiri. Padahal, Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan, “Lakum dinukum waliyadin,” Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”

Kejadian ini bukan sekadar insiden kecil, melainkan alarm bagi bangsa ini. Jika intoleransi terus dibiarkan, ia akan menjadi post-truth, kebenaran palsu yang terbentuk oleh kebohongan yang diulang-ulang. Hari ini mereka merazia warung, besok mereka bisa saja menghakimi siapa saja yang mereka anggap “kurang Islami.

Hukum tampak tumpul. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama seolah kehilangan taringnya saat berhadapan dengan para kafir Islam. Aparat negara kerap memilih diam atau bahkan tunduk kepada tekanan kelompok radikal, sementara mereka yang mengusik kebebasan beragama terus melenggang bebas.

ISLAM TANPA MUSLIM

Cendekiawan Mesir, Muhammad Abduh pernah berkata, “Aku pergi ke Barat, aku melihat Islam tetapi tidak melihat muslim. Aku pergi ke negara Arab, aku melihat muslim tetapi tidak melihat Islam.”

Pernyataan ini mengingatkan kita pada kenyataan pahit. Islam yang sejati justru lebih banyak ditemukan di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Mereka menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, dan toleransi. Nilai-nilai yang justru mulai pudar di negeri-negeri yang mengklaim sebagai pusat Islam.

Di Jepang misalnya, kebersihan menjadi bagian dari iman. Di Eropa, kejujuran dalam transaksi ekonomi begitu dijaga. Namun di negeri yang mayoritas muslim, korupsi merajalela, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, serta kebencian terhadap sesama manusia dipelihara dengan dalih agama. Kejahatan berlangsung sepanjang waktu.

Jika demikian, di mana Islam itu berada? Apakah Islam hanya sebatas simbol, tanpa makna dalam kehidupan sehari-hari? Cih!!

Islam tidak akan hancur oleh serangan dari luar tetapi bisa runtuh oleh pengkhianatan dari dalam. Para kafir Islam ini, dengan kesombongannya, telah merusak wajah Islam yang damai dan penuh cinta. Mereka adalah limbah beracun dalam agama, mematikan dari dalam, merusak akhlak umat.

Negara tidak boleh ragu bertindak. Aparat penegak hukum harus bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam untuk menebar kebencian dan kekerasan. Jika tidak, kita sedang berjalan menuju kehancuran moral, di mana agama hanya menjadi alat untuk menindas, bukan untuk membimbing.

Di akhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan rasa maaf kepada saudara-saudara Katolik yang ibadahnya terganggu. Rabu Abu tetap menjadi momen penyucian jiwa bagi kalian. Sementara itu, jiwa-jiwa para kafir Islam terus menghitam, kehilangan cahaya iman yang sejati.

Semoga kita semua bisa kembali kepada Islam yang sesungguhnya. Islam yang penuh kasih, bukan Islam “KW” penebar kebencian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *