SAMPANG, tretan.news – Insiden yang terjadi di Sampang baru-baru ini kembali menguak realitas kelam dalam dunia penegakan hukum di Indonesia.
Seorang advokat, Didiyanto, menjadi korban tindakan arogansi oknum aparat kepolisian yang secara membabi buta menodongkan senjata api dalam menjalankan tugas profesinya.
Kronologi Peristiwa
Pada hari Sabtu, 14 Desember 2024, Solidaritas Pembela Advokat Seluruh Indonesia (SPASI) mengambil langkah tegas dengan melaporkan insiden tersebut ke Divisi Propam Mabes Polri.
Tindakan ini bukan sekadar upaya pembelaan terhadap seorang individu, melainkan perlawanan sistematis terhadap praktik sewenang-wenang yang mengancam martabat profesi hukum.
“Tindakan ini bukan hanya ancaman terhadap saya secara pribadi, tetapi juga terhadap seluruh advokat di Indonesia. Advokat adalah bagian dari penegak hukum yang dilindungi oleh undang-undang,” tegas Didiyanto.
Didiyanto, sang advokat yang menjadi korban, dengan gamblang menceritakan pengalamannya.
“Saya sedang menjalankan tugas profesi mendampingi klien ketika seorang oknum polisi tiba-tiba menodongkan senjata sambil melontarkan kata-kata kasar,” ujarnya di hadapan media.
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang memberikan perlindungan hukum dan imunitas kepada advokat dalam menjalankan tugasnya.
“Tindakan seperti ini adalah pelanggaran serius terhadap supremasi hukum. Kami mendesak Mabes Polri untuk menunjukkan komitmennya dengan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku. Negara hukum tidak boleh memberi ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan,” tutupnya.
Pelanggaran Hak dan Supremasi Hukum
Insiden ini lebih dari sekadar tindakan individu. Ia menggambarkan persoalan sistemik dalam kultur penegakan hukum di Indonesia. Tindakan menodongkan senjata terhadap seorang advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya adalah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip hukum yang fundamental.
Didiyanto dengan tegas mengingatkan bahwa advokat adalah bagian integral dari sistem penegakan hukum. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ia menegaskan bahwa profesinya dilindungi oleh undang-undang dan memiliki imunitas dalam menjalankan tugas-tugas hukum.
Tuntutan Keadilan
SPASI tidak sekadar berdiam diri. Organisasi ini mendesak Mabes Polri untuk melakukan investigasi menyeluruh atas kasus tersebut.
“Tindakan ini mencoreng citra institusi Polri dan merupakan pelanggaran serius terhadap supremasi hukum,” tegas mereka.
Tuntutan mereka sederhana namun fundamental: Mabes Polri harus menunjukkan komitmen nyata dalam menegakkan hukum dengan mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang bersalah.
Refleksi Lebih Luas
Kasus ini memunculkan pertanyaan mendasar: Bagaimana mungkin aparat penegak hukum yang semestinya menjadi pelindung justru bertindak sebagai pelanggar hukum?
Bagaimana mungkin seorang advokat yang sedang menjalankan fungsi konstitusionalnya dapat diperlakukan dengan cara yang melecehkan martabat profesinya?
Kasus Didiyanto bukan sekadar kisah individual, melainkan cermin dari tantangan sistemik dalam penegakan hukum di Indonesia. Ia menunjukkan betapa pentingnya pengawasan, akuntabilitas, dan penegakan disiplin dalam institusi hukum.
Sambil menunggu tindak lanjut dari Mabes Polri, kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga marwah profesi hukum. Setiap advokat, setiap penegak hukum, harus dilindungi dalam menjalankan fungsinya demi tegaknya keadilan.
Negara hukum tidak boleh sekadar menjadi slogan. Ia harus hidup dalam praktik nyata, di mana setiap individu, terlepas dari posisi dan kedudukannya, diperlakukan dengan martabat dan hormat.