SURABAYA, tretan.news – Kesombongan selalu menagih hutang di masa depan. Para provokator yang kini merasa gagah dengan orasi berapi-api suatu saat akan sadar, bahwa mereka hanyalah pion dalam permainan yang tak pernah mereka kuasai sepenuhnya.
Mereka lupa bahwa Indonesia bukan sekadar panggung sandiwara tempat para petualang politik beradu akting.
Negeri ini terlalu besar, terlalu kompleks untuk dijatuhkan oleh suara gaduh segelintir orang yang bahkan tak mampu menunjukkan jalan keluar.
Hari-hari ini, demokrasi Indonesia terasa bising oleh pekik-pekik kosong yang keluar dari mulut para provokator. Mereka berdiri di atas panggung penuh ilusi, mengaku sebagai pembela rakyat, padahal hanya alat dari kepentingan besar yang merasa terancam oleh perubahan.
Dengan dalih perjuangan, mereka meniup api hasutan, menggerakkan mahasiswa ke jalanan, berharap sejarah 1998 bisa mereka ulang. Mereka lupa, sejarah tidak bisa dikloning. Situasi telah berubah, apa yang dulu berhasil bukan jaminan akan bisa diraih kembali.
PAHLAWAN KESIANGAN
Di balik teriakan lantang di jalanan, ada tangan-tangan tak terlihat yang mengatur langkah mereka. Mahasiswa yang baru belajar “turun tanah” dijejali doktrin bahwa pemerintah selalu salah, kebijakan selalu keliru, dan Indonesia sedang berjalan menuju kehancuran.
Mereka diajari cara membenci sebelum diajari cara berpikir. Mereka diminta percaya bahwa negeri ini gelap, padahal matahari masih bersinar.
“Mata hatimu gelap hingga tak bisa membedakan siang dan malam. Tak bisa jernih menilai segala yang ada. Apapun yang terang dikatakan gelap.”
Ketika kebencian menjadi kacamata, maka segalanya tampak hitam. Maka lahirlah pahlawan kesiangan yang salah arah, meneriakkan “Indonesia Gelap” di bawah terik matahari. Mereka lupa, dunia tidak sesederhana hitam dan putih.
Kebebasan bukan berarti bisa berbuat sesuka-suka. Demokrasi bukan berarti boleh merusak tatanan yang telah dibangun dengan susah payah.
Kalian ini hanya dijadikan boneka jalanan. Digiring untuk membuat gaduh, sementara aktor utama bersantai menikmati keuntungan dari kerusuhan. Mereka bersandar pada teori; Di saat ada kerusuhan di situ ada makanan.
Tangan-tangan di balik layar itu bukan pejuang rakyat, melainkan komprador yang merasa bisnisnya terancam oleh kebijakan negara. Mereka menggunakan kalian sebagai alat lalu membuang kalian begitu saja ketika tujuan sudah tercapai.
Jika kalian menutup hati nurani dan menganggap kebohongan sebagai kebenaran maka celakalah kalian. Kalian masih muda, belum seumur jagung dalam memahami perjalanan bangsa ini.
Belum cukup lama hidup untuk tau bahwa Indonesia lahir dari perjuangan panjang, tertatih-tatih membangun dirinya dari reruntuhan kolonialisme dan kebangkrutan ekonomi.
TERUS BELAJAR
“Bumi ini subur, subur pula keberadaan perampok negara. Yang berprestasi di atas penderitaan rakyat.”
Namun di tengah segala kesulitan, Indonesia tetap bergerak maju. Rakyat telah lama bersabar, menunggu pemimpin yang benar-benar tulus.
Tidak mudah mengurus negara sebesar ini. Tidak mudah menyeimbangkan kepentingan rakyat, menjaga kedaulatan, dan menghadapi tantangan global yang berubah setiap saat begitu cepat.
Dari tujuh kepala negara yang pernah memimpin Indonesia, tidak semuanya meninggalkan kenangan manis. Ada yang jatuh karena keserakahan, ada yang melakukan kudeta terhadap teman seiring, ada yang menjual aset negara, ada yang gagal memahami keinginan rakyat. Beragam kekurangan terpampang.
Tetapi bangsa ini terus belajar. Sejarah adalah guru yang kejam tapi jujur. Dan kami yang lebih dulu merasakan pahitnya perjalanan ini tau bahwa perubahan membutuhkan proses, bukan sekadar gaduh di jalanan.
Jadi, jika kalian memandang semua ini sebagai kegelapan, itu bukan karena Indonesia benar-benar gelap melainkan karena kalian menutup mata. Ratusan juta rakyat lainnya memilih berjalan menuju cahaya, membangun negeri ini dengan kerja nyata bukan sekadar teriak di jalanan.
Indonesia akan terus berkembang, sementara kaum provokator dan oposan yang hanya bisa mengutuk akan mempercepat akhir petualangan mereka sendiri. Setelah dikubur, tanah makamnya masih basah, belum sehari orang-orang sudah lupa bahwa mereka pernah hidup.