SURABAYA, tretan.news – Ketegangan memuncak di RT 8 RW 02 Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, ketika ratusan warganya mendapati kenyataan pahit: tanah yang telah mereka miliki secara sah, sebagian besar bahkan telah bersertifikat, kini diklaim sebagai aset milik Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Keresahan warga ini ditanggapi langsung oleh Muhammad Saifuddin, S.Sos., anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, yang hadir menemui mereka pada Sabtu malam (12/7).
Dalam pertemuan tersebut, Saifuddin menerima keluhan dan kekhawatiran warga terkait status tanah mereka yang tiba-tiba tercatat sebagai aset pemerintah, meskipun sudah ada bukti legal berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
“Malam ini saya diundang oleh warga RT 08 RW 02. Mereka curhat soal persoalan tanah. Di sini itu 75% warga sudah punya sertifikat, dan 25% masih berupa petok D. Tapi tiba-tiba BPKAD mengklaim bahwa tanah ini adalah aset milik Pemkot. Ini tidak masuk akal,” ujar Saifuddin tegas.
Ia menilai klaim tersebut sangat janggal dan tidak logis. Jika tanah sudah bersertifikat resmi dari lembaga negara, lanjutnya, maka secara hukum kepemilikan warga seharusnya sah dan dilindungi.
Sebagai bentuk keprihatinan dan dukungan, Saifuddin menyarankan agar warga menempuh jalur konstitusional dalam menyampaikan aspirasi mereka.
Rencana warga untuk melakukan demonstrasi besar-besaran menurutnya sah secara hukum, namun akan lebih efektif jika dilakukan melalui mekanisme resmi.
“Demonstrasi memang boleh. Tetapi akan lebih baik jika aspirasi warga disampaikan lewat jalur konstitusional, seperti hearing ke DPRD Kota Surabaya,” tambahnya.
Sebagai tindak lanjut, perwakilan warga dijadwalkan akan mengirimkan surat permohonan audiensi ke DPRD pada hari Senin, 14 Juli 2025. Saifuddin berkomitmen untuk mengawal proses ini hingga tuntas, agar kepastian hukum dan keadilan bisa ditegakkan.
Salah satu warga yang hadir, Musikin (53), menyampaikan rasa kecewanya. Ia merasa heran mengapa tanah yang ia beli secara sah dan kemudian disertifikasi melalui program nasional saat era Presiden Jokowi, kini justru diklaim milik Pemkot.
“Sejak saya beli tanah sampai ikut program PTSL, semua berjalan lancar. Tapi kenapa sekarang, ketika sudah punya SHM resmi, malah tanah saya diakui milik Pemkot Surabaya?” keluh Musikin.
Kasus ini membuka kembali persoalan lama terkait tumpang tindih status kepemilikan tanah antara warga dan pemerintah daerah.
Masyarakat berharap agar suara mereka benar-benar didengar dan hak-hak mereka sebagai pemilik sah diakui serta dilindungi.