Prof. Bambang Tjahjadi: Jadikan Kanvas Ruang Penyegaran Jiwa

Penulis Esai : Rokimdakas

Artikel, Berita, Tokoh36 Dilihat

SURABAYA, tretan.newsDi tengah hiruk-pikuk dunia yang bergerak serba cepat, manusia kerap mencari pelabuhan untuk menambatkan rasa letih. Ada yang merambah hutan, mendaki gunung atau menyelami lautan. Namun bagi Prof. Dr. Bambang Tjahjadi, SE, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, pelabuhan itu justru terhampar di atas kanvas.

Gunung- gunung ia torehkan dengan komposisi warna-warni, flora dihidupkan dengan sapuan kuas, dan langit tercipta dari dialog antara imajinasi dan kenyataan.

DUA JIWA SATU RAGA
Bambang Tjahjadi yang akrab disapa Mas Mbeng adalah lukisan yang tak selesai. Sebuah kanvas yang diisi oleh dua tangan berbeda.

Satu tangan mengukir dunia ekonomi, menata angka dan strategi bisnis. Tangan lainnya menggenggam kuas mencipta miniatur semesta dengan warna-warna  menantang.

Sejak remaja di Probolinggo merasa terpikat dengan seni rupa. Bahkan sempat berharap bisa kuliah di Yogyakarta namun terhalang oleh kehendak ayahnya yang membimbingnya ke jurusan ekonomi.

Rupanya benih seni tak pernah mati. Ia tumbuh dalam diam, merambat di sela deret rumus akuntansi lalu mekar menjadi oase di tengah gurun rutinitas.

RITUAL TERAPI
Bagi Mas Mbeng melukis bukan sekadar hobi melainkan ritual terapi. “Saya seperti tenggelam dalam ruang estetik di mana waktu tak lagi linier,” tuturnya.

Di atas kanvas, ia bercakap dengan diri sendiri, mengurai beban yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Proses itu ia sebut sebagai “aliran terapi”. Setiap goresan adalah katarsis, setiap warna adalah bahasa emosi yang merdeka.

Tak heran Mas Mbeng mengidolakan Affandi sang maestro ekspresionis  yang menjadikan lukisan sebagai jeritan jiwa, dan Basuki Abdullah, maestro realisme. Dua kutub berbeda itu menyatu dalam dirinya,  ekonomi yang rasional dan seni yang intuitif.

ANGKA DAN WARNA
Setelah bertahun-tahun melukis untuk dirinya sendiri sejak 2005 akhirnya pada tanggal 4 hingga 9 Februari 2025 Mas Mbeng menyajikan puluhan karyanya dalam sebuah pameran tunggal di Gedung Balai Pemuda Surabaya. Pameran ini bukan sekadar ajang unjuk karya tetapi juga sebuah perayaan ulang tahunnya ke-68.

“Momen ini adalah  kolaborasi antara akademisi, seniman dan manusia biasa yang tak pernah berhenti memungut nilai,” ujar Eko Bening, koordinator acara.

Nuansa pameran diperkaya oleh penyajian keris-keris berkelas,  wayang krucil dan batik tulis. Seolah ingin mengatakan bahwa seni rupa adalah rahim khazanah budaya.

Diantara mantan mahasiswanya yang hadir adalah Mr. Jogger atau Joseph Theodorus Wulianadi, pebisnis souvenir  Bali bermerek Jogger berkomentar, “Mas Mbeng membuktikan bahwa jiwa yang sibuk tetap bisa menemukan mata air kreatif. Ia menari di antara angka dan warna tanpa pernah kehilangan ritme.”

Dalam dunia yang kerap memisahkan seni dan ilmu pasti, Mas Mbeng adalah bukti bahwa keduanya bisa bersanding seperti dua warna kontras yang justru melahirkan keindahan.

Baginya melukis adalah cara bernapas, cara merawat jiwa yang kadang lelah oleh beban profesi. Seperti kata Nietzsche, “Tanpa musik, hidup adalah kesalahan.” Mungkin bagi Mas Mbeng, tanpa kanvas, hidup hanyalah deretan angka bisu.

Pameran ini tak hanya memamerkan lukisan tetapi juga mengajak kita melihat diri sendiri. Masih adakah “kanvas” yang bisa dijadikan pelabuhan jiwa?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *