SURABAYA, tretan.news – Di balik babak kelam konflik di Desa Ketapang Laok, Kabupaten Sampang, tersimpan drama sosial yang memperlihatkan kompleksitas hubungan antarkelompok di tanah Madura.
Sebuah insiden pembacokan yang menewaskan seorang warga ini tak sekadar peristiwa kriminal biasa, melainkan cermin konflik sosial yang lebih dalam.
Awal mula peristiwa bermula dari sebuah kunjungan politik yang tak terduga. Slamet Junaidi, calon bupati nomor urut 2, tiba-tiba hadir di Padepokan Babussalam milik Kiai Mualif. Namun, kedatangannya ternyata memicu ketegangan yang tak terduga.
Dalam tradisi Madura, hormat-menghormati antar kelompok dan tokoh masyarakat adalah hal sakral.
Ketika rombongan Junaidi datang tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada Kiai Hamduddin tokoh senior di wilayah tersebut melanggar protokol sosial yang ada. Pelanggaran kecil ini kemudian memicu rangkaian peristiwa tragis.
Blokade jalan dengan mobil dan kayu yang dilakukan kelompok Kiai Hamduddin menjadi titik awal pertengkaran.
Percakapan sengit antara Asrofi salah satu anggota rombongan dengan Kiai Hamduddin memperlihatkan ketegangan ego dan harga diri yang tinggi.
“Kurang ajar, di sini kamu cuma pendatang,” kata Kiai Hamduddin, menunjukkan kuatnya primordialisme lokal.
Puncaknya terjadi ketika tersiar kabar bohong bahwa korban J telah memukul Kiai Hamduddin. Meski polisi menegaskan ini adalah hoaks, emosi massa telah tersulut.
Sembilan orang dari kelompok Kiai Hamduddin kemudian mengeluarkan celurit, menandai klimaks tragedi berdarah tersebut.
Polda Jatim akhirnya mengungkap tiga tersangka, Fendi Sranum, Abd. Rohman, dan Suadi. Mereka dijerat pasal kekerasan dengan ancaman 10 tahun penjara, namun hukuman formal tak akan pernah cukup untuk menyembuhkan luka sosial yang tercipta.
Peristiwa ini membuka pertanyaan mendalam, Sampai kapan ego kelompok dan tradisi primordial akan terus menyandera dinamika sosial masyarakat Madura.