SURABAYA, tretan.news – Gaya kepemimpinan Megawati yang otoriter, mengutamakan politik dinasti, tidak menunjukkan kemampuan untuk mengimbangi perubahan zaman, menjadikan tidak ada alasan lain bagi PDIP untuk memperpanjang eksistensinya di kancah politik Tanah Air.
Jika Megawati tetap keras kepala, tetap egois mempertahankan jabatannya pada kongres PDIP mendatang maka ketika itulah liang lahat bagi partai yang pernah besar ini dipersiapkan untuk dikubur.
Dalam kancah politik, ada satu hukum besi yang tak terbantahkan, kekuasaan yang tak mampu beradaptasi dengan dinamika zaman akan berakhir dalam keruntuhan. Seperti teori “Kuda Mati” yang mengajarkan bahwa terus menunggangi sesuatu yang telah tiada hanya akan berujung pada kebuntuan.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan segala arogansi kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, mulai menunjukkan tanda-tanda kerapuhan yang tak terelakkan. Tidak menutup kemungkinan akan terkubur bersama ketua umumnya.
OTOKRASI
Peristiwa terbaru yang mencerminkan hal ini adalah terbitnya surat larangan bagi kepala daerah dari PDIP untuk menghadiri pembekalan atau retreat di Akademi Militer Magelang.
Larangan ini seakan menjadi sinyal terang bahwa Megawati bukan hanya sekadar pemimpin partai tetapi juga seorang otokrat – pemimpin yang memiliki kekuasaan absolut atau tidak terbatas – yang menempatkan loyalitas partai di atas kepentingan negara.
Pernyataan Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali menggema, “Megawati itu orang yang tidak patuh pada undang-undang, bahkan sering menabrak undang-undang.”
Kini ucapan itu menemukan relevansinya. Dengan surat larangan tersebut, Megawati secara terang-terangan melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan bahwa pembekalan kepala daerah adalah wewenang pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Presiden Joko Widodo sendiri ikut menegaskan, “Retreat ini program pemerintah pusat. Karena ini menyangkut masalah pemerintahan maka baik gubernur, bupati, maupun wali kota harus patuh untuk mengikuti.” Dengan kata lain, perintah negara harus diutamakan daripada loyalitas partai.
Namun pernyataan ini justru dibantah oleh Said Abdullah, anggota Fraksi PDIP yang mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah “urusan internal partai”, pihak luar tidak boleh ikut campur.
Pernyataan ini sontak menuai kritik tajam karena apa yang dilakukan Megawati bukan sekadar persoalan internal melainkan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perlawanan terhadap otoritas tertinggi negara.
Fahri Hamzah pun ikut menyoroti fenomena ini dengan menegaskan, “Tidak ada ceritanya ketua partai mengendalikan negara. Jika ada ketua partai yang seakan bisa mengendalikan negara, ini salah besar.”
Ketidaktahuan Megawati tentang tata negara bukan sekadar kesalahan tetapi bentuk keluguan politik yang sangat berbahaya.
DINASTI MEGA
Kini semakin banyak rakyat yang membuka mata terhadap realitas yang selama ini ditabiri retorika perjuangan “wong cilik.” PDIP yang selama ini mengklaim sebagai partai rakyat nyatanya lebih menyerupai perusahaan politik pribadi milik Megawati.
Politik dinasti dijalankan tanpa malu-malu. Anak, cucu, saudara dan kroni politiknya ditempatkan pada posisi strategis, baik di parlemen maupun struktur partai. Rakyat yang dulu setia kini mulai merasa jengah dengan tipu daya yang terus berulang.
Semangat reformasi yang dulu dikibarkan PDIP telah lama pudar. berganti dengan kalkulasi politik yang hanya menguntungkan segelintir elite partai.
Akhirnya teori “Kuda Mati” menemukan relevansinya dalam konteks ini. PDIP, seperti kuda yang telah mati, tetap saja ditunggangi dengan harapan ilusi bahwa ia masih dapat berlari.
Jika PDIP tidak ingin bernasib seperti kuda mati, maka diperlukan keberanian untuk mereformasi struktur kepengurusan yang selama puluhan tahun dikendalikan oleh Megawati.
Waktu telah menguji bahwa Megawati telah tiba saatnya untuk lengser dari tampuk pimpinan. Tidak ada kekuasaan yang abadi. Yang abadi hanya perubahan. Bagi PDIP, tanda-tanda kehancuran itu semakin nyata, semakin dekat dan semakin tak terhindarkan.