SURABAYA, tretan.news – Indonesia mengenang satu peristiwa yang dulu digagas oleh kaum terpelajar, bukan kaum selebgram. Hari Kebangkitan Nasional yang ke-117. Hari yang semestinya dipenuhi refleksi, bukan disibukkan oleh tren TikTok dan drama tentang ijazah palsu.
Ironisnya, yang diperdebatkan bukan lagi cita-cita kebangsaan tapi siapa yang lebih viral di media sosial. Yang jadi pahlawan bukan pejuang tapi pelaku hoaks tercepat dengan seribu akun palsu.
Kita ini bangsa yang dianugerahi 17.000 pulau, ratusan suku dan puluhan agama. Sebuah warisan kebhinekaan yang membuat iri bangsa-bangsa lain tapi juga tantangan yang tak ringan.
Syukurlah kita masih bisa bersatu dalam satu rumah bernama Republik Indonesia, walau kadang seperti rumah tangga yang rawan diguncang isu perceraian karena perselingkuhan ideologi dengan asing berlatar agama.
Mari kita buka lembar sejarah agar kita tidak seperti ayam lupa kandang. Tahun 1908 Budi Utomo berdiri di tangan dr. Sutomo dan para cendekiawan STOVIA.
Itu bukan tongkrongan anak muda yang galau melainkan awal kesadaran kolektif untuk bangkit dari tidur panjang dalam penjajahan. Sebuah mimpi tentang bangsa yang punya harga diri dan bukan sekadar koloni yang diperah habis-habisan.
Dua puluh tahun kemudian, tahun 1928 Kongres Pemuda II menjadi momen sakral dengan lahirlah Sumpah Pemuda, mengikrarkan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Lihatlah, bagaimana anak-anak muda kala itu bukan sibuk selfie tapi merumuskan identitas kolektif bangsa. Mereka tau kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajah tapi merdeka untuk bersatu dalam perbedaan.
Lalu 1945, tonggak paling monumental, yakni Proklamasi Kemerdekaan. Sebuah keberanian di tengah kekosongan kekuasaan di saat dunia baru saja jungkir balik karena perang.
Bung Karno dan Bung Hatta bukan sekadar orator tapi arsitek bangsa. Kini setelah 80 tahun, warisan mereka sedang diuji oleh generasi yang katanya “melek digital” tapi buta sejarah.
Di tengah refleksi Harkitnas hari ini, kita patut memberi hormat kepada para pemimpin yang masih berpikir waras dan bekerja nyata.
Presiden Jokowi misalnya, telah membuktikan bahwa membangun bangsa bukan sekadar janji kampanye. Jalan dibangun sampai ke perbatasan, pelabuhan berdiri megah di pulau-pulau terluar dan tambang-tambang yang dulu dijarah kini mulai kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Ia pun menghidupkan politik hilirisasi, bukan jargon kosong tapi strategi agar Indonesia tak selamanya menjadi lumbung bahan mentah dunia.
PROXY ASING
Tongkat estafet kini ada di tangan Presiden Prabowo. Kita berharap, bukan sekadar ganti baju tapi melanjutkan perjuangan. Hanya saja perjuangan ini tidak sepi dari rintangan.
Justru saat negeri ini mencoba mandiri, muncul dalang-dalang pengkhianatan yang memainkan wayang busuk dengan menyebar fitnah, menggoyang legitimasi dan menjadi proxy kekuatan asing yang tak rela Indonesia berdikari.
Sejarah membuktikan, kebangkitan nasional adalah proses evolutif. Dari Budi Utomo ke Sumpah Pemuda ke Proklamasi lalu pembangunan pasca-reformasi. Sebagaimana teori Darwin, evolusi tak menjamin semuanya bertahan.
Ada spesies yang punah karena gagal beradaptasi. Begitu juga dengan bangsa ini, kita bisa punah jika lebih memilih retorika benci ketimbang semangat persatuan.
Kini, justru para pengacau itu tampil dengan wajah agamis, nasionalis kadang aktivis. Tapi hati-hati, karena tidak semua yang membungkus dirinya dengan bendera merah putih pertanda setia kepada negara.
Ada yang diam-diam menjadi boneka, dipentaskan di panggung demokrasi untuk merusak rumah sendiri demi upeti dari sponsor luar negeri.
“Jika politik adalah seni kemungkinan maka pengkhianatan adalah seni manipulasi yang dibungkus idealisme palsu.”
Aparat negara jangan ragu bersikap. Jangan karena takut dicap otoriter lalu kita biarkan bibit disinformasi, fitnah dan kebencian (DFK) tumbuh subur seperti ilalang liar.
Demokrasi tanpa tanggung jawab adalah resep pasti menuju kehancuran. Bukan membela kekuasaan tapi menjaga kewarasan.
Hari ini, kita tidak sekadar mengenang masa lalu. Kita dituntut bertanya, apa yang bisa kita sumbangkan bagi bangsa dan negara?
Mencintai tanah air bukan soal bendera di bio media sosial. Tapi keberanian untuk berpikir jernih, menahan diri dari provokasi dan menyumbangkan karya terbaik.
Setiap warga negara punya kewajiban bela negara, bukan hanya dengan senjata tapi juga dengan akal sehat, empati sosial dan kesadaran kolektif.
Indonesia tidak dibangun oleh satu tokoh, tapi oleh jutaan jiwa yang rela berkorban. Jika kita masih bisa duduk tenang di warung kopi dan bercanda dalam banyak bahasa daerah, itu karena darah para pendahulu telah mengalir jadi semen untuk pondasi bangsa ini.
Maka jangan pernah percaya mereka yang menebar pesimisme. Karena kebangkitan tidak lahir dari keluhan, tapi dari keberanian menghadapi kenyataan.
“Walau langit runtuh, keutuhan bangsa ini wajib kita jaga. Karena Indonesia bukan sekadar tanah tapi harga diri.”
Oleh:
Rokimdakas
Pembantu Umum