Gerakan Seniman Kembalikan Budaya Gotong Royong Bangun Ekosistem Seni

Artikel, Berita, Budaya193 Dilihat

SURABAYA, tretan.news – Forum Pegiat Kesenian Surabaya, kolaborasi para individu seniman serta unsur dari Forum Budaya Surabaya (FBS), Seduluran Semanggi Suroboyo (3S), dan Dewan Kesenian Surabaya (DKS), didukung penuh oleh Practica Production dan SABAYA Talent-Based School, menyelenggarakan kegiatan perdana berupa pembacaan puisi, musik, dan monolog bertema “Surabaya Hari Ini.”

Acara berlangsung pada 13 Mei 2025 mulai pukul 19.00 di Teras Dewan Kesenian Surabaya, dibawakan oleh Cak Des dan Ning nDindy. Cak Des—sapaan Desemba Sagita (Ketua FBS)—menjelaskan bahwa forum ini diharapkan dapat berjalan bergandengan tangan alias gotong royong sebagai cara membangun kembali spirit Budaya Arek, baik bersama individu (kreator) maupun komunitas seni budaya lainnya di Kota Surabaya.

“Surabaya Hari Ini” menunjukkan bahwa Surabaya tidak mlempem. Salam Surabaya, Wani!” tegasnya.

Sementara itu, Ning nDindy pegiat senior Bengkel Muda Surabaya menambahkan:

“Sebuah pertemuan kecil untuk sebuah langkah besar dimulai hari ini. Tiap bulan akan berkumpul seniman se-Surabaya, se-Jawa Timur, dengan semangat gotong royong dan cinta yang luar biasa untuk berkesenian.”

Acara dibuka oleh penampilan Pusat Olah Seni Surabaya (POSS Ensemble) pimpinan Heru Prasetyono, yang membina ratusan seniman muda melalui latihan mingguan di pelataran Dewan Kesenian Surabaya. Mereka membawakan dua komposisi: Canon in D dan Jembatan Merah.

Monolog dilanjutkan oleh Meimura, seniman yang dikenal melalui seni ludruk. Dalam pembukaannya, ia menyatakan:

“Surabaya tidak baik-baik saja.”

Ia sempat menyindir Ketua DKS, Chrisman Hadi, yang tidak hadir padahal masa baktinya telah habis:

“Seharusnya beliau hadir, sesuai adat seniman, untuk berkumpul dan membahas bersama. Kondisi saat ini tidak baik-baik saja.”

Monolognya bertema Laku Tolak Bala, berisi harapan agar penerus kepemimpinan kelak amanah dan menjadi berkah bagi anak-cucu. Ia menutup dengan remo dan parikan:

“Suraboyo kota pahlawan, ayo dijogo supoyo aman. Ojok sampek akeh garangan, anak putu riko kabeh iso gak kumanan. Balai Pemuda, panggon bersejarah, ayok dijogo supoyo gak dijarah. Jaman semono kabeh pejuang nggowo ati lan pikiran sing amanah, ditinggal awe-awe arek Suroboyo apik atine.”

Jil Kalaran, penggagas Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS), dalam sambutannya menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya:

“Acara ini dikemas dengan gaya Suroboyoan karena semangat Budaya Arek: semangat egaliter, semangat gotong royong. Ini yang ingin dibangkitkan kembali.

FPKS ingin bekerjasama, bergandeng tangan melangkah bersama antar kelompok seni, komunitas, dan individu.

Tidak ada lagi sekat-sekat, kita bersatu. Gerakan kesenian tidak bisa dilakukan sendirian; harus dilakukan bersama-sama.

Kota ini sangat membutuhkan itu. Surabaya yang berkembang, tidak seimbang dengan perkembangan keseniannya.

Kalau tiap bulan ada acara di sini, maka dalam 12 bulan kita bisa membuat festival seni.

Mei 2026, kita akan punya Festival Seni.
Acara ini gotong royong, saweran, saling mengisi.

Gagasannya apa? Kita bekerja bersama. Itu yang kita kedepankan.
Selamat merayakan kesenian!”

Sesi pembacaan puisi dibuka oleh Alfian Bahri (Robot Rematik di Depan Teh), Igomarvel (Jam Kunjung Pasien), dan Nanda Alifya Rahman (Buat Penjaga Mercusuar). Musik dibawakan oleh Prof. Rubi Kastubi, Cak Pardi Artin, dan Bambang John, dengan lagu Kadung Dadi Arek Suroboyo, Surabaya 1293, dan Untukmu Indonesia.

Dalam orasi kebudayaan, Kuncarsono Prasetyo menyampaikan:

“Saya merasa terhormat, seperti walikota. Acara seperti ini seharusnya mengundang walikota.

Namun, seminggu ini beliau klilipen muncul di foto-foto seluruh penjuru kota karena ada acara APEKSI. Uniknya, walikota tidak tampil bersama wakilnya, melainkan bersama istrinya.

Satu-satunya di dunia: walikota nampang bersama istrinya dengan jabatan yang tidak terkait penyelenggaraan negara: Ketua PKK.
Ruang publik kita telah direduksi untuk urusan kekeluargaan.”

Kuncar melanjutkan kritiknya terhadap kebijakan kota:

“PKL di Jl. KH. Mas Mansyur digusur, dipindah ke Kalimas. Kenapa yang membangun ekosistem kawasan Arab malah digusur?
Sementara itu, Jl. Kembang Jepun justru ditutup dan diundang PKL untuk jualan.
Kota ini dibangun bukan atas dasar kebutuhan publik, melainkan kemauan penguasa.

Surabaya butuh semangat ‘speak up’ ngomong bareng, gerak bareng, agar pemerintah kembali ke fitrahnya sebagai pelayan, bukan dilayani. Saya harap ini menjadi upaya awal menginisiasi langkah bersama menuju Festival Seni Surabaya.”

Penyair perempuan tampil berurutan: Denting Kemuning (Surabaya Hari Ini, diiringi musik Arul Lamandau), Heti Palestina Yunani (Surabaya Jangan Ambyar), Tri Wulaning Purnami (Binatang Jalang Bagiku), Deny Tri Aryanti (Di Tepian Jagir Wonokromo, Urip Sak Jeroning Tangis), dan Peni Citrani Puspaning yang membacakan kutipan dari Pater Pancali dan Seloka Melayu.

Heru Dharma bersama Arul Lamandau menampilkan musik dan puisi Jatuh Miskin. Aming Aminuddin (Presiden Penyair) membaca puisinya Surabaya Penuh Warna (Mojokerto, 16 Agustus 2024). Disusul Joko Prakosa dan Harwi Mardianto dengan puisi Jawa Suroboyo Gulung Koming, lalu Tengsoe Tjahjono dengan Ikan-ikan Mati di Kalimas.

Imung Mulyanto (jurnalis) menampilkan reportase-puisi tentang ibu pertiwi yang makin susah hati karena oligarki. Dr. Autar Abdillah (seniman dan dosen UNESA) membawakan puisinya Surabaya Hari Ini, yang menekankan bahwa negeri sedang tidak baik-baik saja. Ia menyebut:

“Surabaya hari ini adalah gerakan menuju halaman baru rumah sejarah dan budaya, tempat ibu pertiwi menanamkan laku: kerja literasi, kerja nurani, kerja menyelamatkan negeri dari manipulasi dan ambisi.”

Raja Gurit, Widodo Basuki, menyuguhkan geguritan berbahasa Jawa penuh makna.

Acara ditutup oleh monolog Dody Yan Masfa. Mengenakan daster kuning dan menenteng tas merah di pundak, Dody berkeliling panggung sambil berteriak:

“Orang-orang tidak pernah serius dengan kebaikan; tidak sungguh-sungguh dengan kebenaran. Kita cuma main-main, memperolok zaman, memperburuknya dengan kemalasan dan kesombongan.

Jangan menangis, jangan tertawa itu cuma kesadaran fakultas, kesadaran faktur, kesadaran faksimili, kesadaran… fakyu!”

Radian Jadid
Sekretaris Forum Budaya Surabaya (FBS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *