SYAREAT ITU PRODUK BUDAYA BUKAN DARI LANGIT

Artikel, Berita, Budaya160 Dilihat

SURABAYA, tretan.news – Di tengah perkembangan aliran Islam yang beraneka rupa ada yang menarik dipertanyakan, hukum-hukum agama yang disebut syareat Islam; apakah hukum ibadahnya, hukum perdata, pidana maupun tatanegara, apa asli “gedebug” dari langit sebagai syareat atau proses pengolahan otak manusia?

Kalau itu hasil pikiran manusia, itu agama atau budaya? Maksudnya, jangan mengatakan bahwa ini adalah hukum Allah yang harus dilaksanakan, tunggu dulu.

Ada suatu keyakinan bahwa keberadaan seseorang bisa abadi bilamana memiliki keturunan yang unggul, hasil kerjanya monumental serta ilmu yang diwariskan menggugah kesadaran publik.

Pada point ketiga itulah kiranya menarik untuk menyimak penuturan Prof. Dr. Kyai Abdul Syakur Yasin, MA. (02 Februari 1948 – 17 Januari 2024). Ulama progesif, pendiri Pondok Pesantren Cadangpinggan, Kecamatan Kertasmaya, Indramayu, Jawa Barat yang penuturannya bisa disimak pada kanal Youtube, Tiktok maupun video short bertajuk Buya Syakur.

Menurut Buya Syakur yang memiliki perjalanan pendidikan panjang selama 20 tahun di Afrika dan Eropa, khususnya di Mesir, Libya, Tunisia dan London mengatakan, ada masalah di dalam sejarah Islam sendiri, bahwa kodifikasi hukum Islam tidak dilakukan oleh lembaga atau institusi resmi negara tapi personal.

Pribadi Imam Syafii, pribadi Hambali, pribadi Maliki maupun pribadi Abu Hanifah yang hasil studi mereka saling bertabrakan, saling berbeda sama sekali.

Versi Imam Syafii, ketika perempuan menikah wajib harus pakai wali. Abu Hanifah tidak perlu pakai wali. Soal wudu, menurut Imam Syafii jika menyenggol perempuan batal wudunya, imam Maliki tidak batal. Kalau versi Imam Hambali tergantung, jika ada muatan syahwat baru disebut batal. Yang bener mana? Apa tiga-tiganya yang dimaksud Allah? Yang persis dimaksud Allah itu batal atau tidak? Kan nggak jelas.

Keempat versi syareat yang ada sekarang merupakan hasil pikiran masing-masing pencetus mazhab. Hasil studinya tidak pernah kompromi. Sehingga di suatu negara Islam, ada empat pengadilan.

Ada cerita dari Abdul Qarim Al Juziyah, bahwa dia menjadi hakim di Mahkamah Maliki. Makanya orang Islam tidak boleh “mendamaikan” keempat syareat tersebut. Jadi, jika ditanya, “Kamu agamanya siapa?” Syafii. “Makammu di sana.” Jika Hambali, di situ. Beda-beda tempat pengadilannya.

Bayangkan, mungkinkah di negara modern abad ke – 21 ini ada 4 pengadilan yang berbeda dan sampai sekarang terus terjadi pertengkaran. Pernah gara-gara seseorang setelah salaman dengan istrinya langsung jadi imam, tidak wudhu lagi, makmumnya bubar.

Ada seorang yang menjadi imam shalat, mungkin dia ingin menunjukkan kepintarannya pada makmum ketika shalat subuh tanpa baca basmalah tapi langsung baca Al Fatihah: Alhamdulillah hirrobbil alamin … Hanya berselang beberapa jam, dia dapat “surat terimakasih” dari Ketua Dewan Masjid, alias dipecat jadi imam masjid.

SEJARAH KELAM
Pertengkaran antar umat Islam itu sudah dimulai sejak Nabi Muhammad meninggal dunia. Persatuan umat Islam sudah pecah kongsi pada detik pertama nabi meninggal dunia. Sampai tiga hari jenazah nabi tidak ada yang mengkafani.

Apa yang terjadi? Mereka rapat membahas kekuasaan. Ketika sepakat menjalankan khilafah, hasilnya apa? Ternyata antar mereka sakit menyakiti. Abu Bakar mati diracun, Umar mati “dicubles”, Usman mati dibacok. Ali diinjak-injak, anaknya Husein dipenggal kepalanya dibuat bal-balan.

“Kalian mau bikin khilafah seperti itu di sini?” Buya Syakur meninggalkan pertanyaan.

Tampaknya ada kehendak ingin mengimplementasikan peradaban abad ke-7 di abad ke-21. Ini jadi masalah, yang tidak dilakukan nabi: bid’ah.

Tahlil. Apa nabi tahlil? Tidak. Nggak boleh. Neraka kalian. “Masa’ala, orang se Indonesia masuk neraka semua gara-gara tahlil.” Maulud Nabi? Nabi tidak pernah Mauludan. Berarti bid’ah, diobrak-abrik semua, wajib dimasukkan ke neraka.

Coba perhatikan, apapun yang tidak dilakukan oleh nabi adalah bid’ah. Sampe cebok pake tisu juga bid’ah. Karena nabi tidak pernah pakai tisu. Berarti bid’ah. Supaya tidak masuk neraka, pakai apa? Batu. Pokoknya, apapun yang tidak nabi lakukan, bid’ah.

Peradaban abad ke-7 ingin diimplementasikan di abad ke-21 di negara modern seperti ini. Sikat gigi juga tidak boleh pakai odol, harus pakai siwak. Juga pakaiannya, jubahnya, jenggotnya, semuanya harus kayak nabi.

Maksudnya kita diajak hidup ke abad ke-7, begitu? Ini yang disebut ekstrimisme. Makanya ada Islam integris, ekstrimis, teroris, dan macam-macam isme yang justru menimbulkan persoalan.

Oleh:
Rokimdakas
Penulis Fenomena
Sabtu 24 Mei 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *