Tretan.news – “Maafkan Aku, Adikku.” Suara Prof. Sarjiya bergetar ketika menyampaikan permohonan maaf kepada adiknya, Suparsih ketika menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Matanya berkaca-kaca, emosinya tak terbendung saat mengingat pengorbanan adiknya yang harus merelakan pendidikan SMA demi memberikan kesempatan bagi dirinya untuk terus bersekolah.
“Secara khusus saya mohon maaf kepada adikku, Suparsih, yang waktu itu terpaksa tidak bisa melanjutkan ke bangku SMA, meskipun dengan nilai ujian SMP yang sangat baik karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah kita berdua secara bersamaan,” ujar Prof. Sarjiya dengan penuh rasa haru.
Bagi Suparsih keputusannya adalah bentuk cinta dan dukungan untuk masa depan sang kakak. Tetapi bagi Sarjiya keputusan itu menyisakan rasa bersalah yang mendalam hingga kini.
KELUARGA SEDERHANA
Sarjiya lahir 51 tahun lalu di Lendah, Kulon Progo dari keluarga sederhana. Pujidiyono, ayahnya bekerja sebagai buruh pembuat gamping sementara ibunya, Sumirah, adalah pedagang gula jawa yang setiap hari menjajakan di kota Yogyakarta. Kedua orang tua mereka bahkan tidak pernah merasakan bangku sekolah.
Namun keterbatasan ekonomi tidak menghalangi mereka untuk bermimpi besar.
“Bapak dan Ibu berani membuat keputusan untuk mengizinkan dan membiayai saya melanjutkan sekolah meskipun itu berarti harus mengorbankan pendidikan adik saya,” kenang Sarjiya.
Dengan latar belakang yang serba terbatas, Sarjiya meniti pendidikan dari SDN Pengkol, SMP Brosot, hingga akhirnya bersekolah di SMAN 1 Teladan Kota Yogyakarta. Di sinilah potensi akademiknya berkembang, membuka peluang untuk melanjutkan ke Teknik Elektro UGM.
Perjalanan pendidikannya tak berhenti di sana. Ia meraih gelar magister di UGM dan melanjutkan program doktoral di Chulalongkorn University, Thailand. Semua itu tak lepas dari pengorbanan besar keluarganya, khususnya adiknya.
“Semoga pengorbanan kakak-kakak dan adikku mendapatkan imbalan kebaikan yang lebih banyak dari Tuhan Yang Maha Esa,” ucapnya.
Di Balai Senat UGM, momen pengukuhan sebagai Guru Besar menjadi puncak emosional bagi Sarjiya. Usai menyampaikan pidato berjudul Integrasi Variable Renewable Energy dalam Perencanaan dan Operasi Sistem Tenaga Listrik Menuju Transisi Energi Berkelanjutan, ia langsung menghampiri sang ibunda.
Dengan bersujud di hadapannya, Sarjiya menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga. Pelukan erat dan ucapan terbata-bata, “Maturnuwun Bu,” menjadi simbol bakti seorang anak yang tak melupakan akar perjuangan keluarganya.
Ia juga menyalami empat saudari perempuannya satu per satu, termasuk Suparsih, yang hari itu hadir dengan bangga melihat sang kakak mencapai puncak kariernya.
PELAJARAN HIDUP
Kisah Prof. Sarjiya adalah bukti nyata bahwa keberhasilan tidak hanya lahir dari kerja keras tetapi juga dari pengorbanan dan cinta keluarga. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, keluarganya memilih untuk mendukung pendidikan sebagai prioritas.
“Saya hanya bisa berharap apa yang saya capai ini menjadi kebanggaan bagi keluarga dan memberikan manfaat untuk banyak orang,” kata Sarjiya.
Semangat dan ketulusan keluarga Sarjiya mengajarkan bahwa pendidikan bukan hanya soal individu tetapi juga perjalanan bersama keluarga yang mendukung di setiap langkah.
Kini, sebagai Guru Besar UGM, Sarjiya tidak hanya menjadi simbol keberhasilan pribadi tetapi juga harapan bagi banyak orang. Bahwa keterbatasan bukanlah akhir melainkan awal dari perjuangan besar.
Kisah Inspiratif Prof. Sarjiya