MALANG, tretan.news – Zainul Afkar (53) dan Jukianto (47), keduanya warga Desa Bandungrejo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka oleh Satreskrim Polres Malang.
Pendaftaran gugatan di Pengadilan Negeri Kepanjen itu dilakukan pada hari Jumat (29/11/2024). Permohonan keabsahan sah atau tidaknya penetapan tersangka tersebut terdaftar dengan nomor perkara 3/Pid.Pra/2024/PN Kpn.
’’Penetapan tersangka ini kami gugat, karena tidak sesuai dengan KUHAP,’’ ujar Agus Subyantoro, SH, kuasa hukum Zainul dan Jukianto.
Ditanya tidak sesuai KUHAP yang mana, Agus tidak mau menyebutkan. Karena itu bagian strategi yang akan diungkap di depan persidangan. Seluruh dalil-dalil yang dinilai menyalahi prosedur penetapan tersangka akan dibeberkan pada persidangan.
Wakil ketua 1 DPC Peradi Kabupaten Malang ini menjelaskan, niat dan tujuan utama praperadilan untuk memeriksa dan memutus apakah proses penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan sesuai dengan hukum atau tidak.
’’Sesuai perundang-undangan, yang berwenang menentukan sah atau tidaknya penetapan tersangka adalah pengadilan,’’ tegas pria berkaca mata ini.
Intinya, kata Agus, gugatan praperadilan ini adalah fungsi kontrol sesama aparat penegak hukum dalam melaksanakan kewenangannya. Dengan tujuan agar tidak terjadi kesewenang-wenanga dalam menjalankan tugasnya. Serta melindungi hak-hak tersangka untuk memastikan tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat tidak melanggar hukum dan HAM.
Sebagaimana diberitakan, Satreskrim Polres Malang menangkap dua orang pelaku yang diduga melakukan pungutan liar (pungli) di Pantai Wisata Selok Banyu Meneng, Desa Bandungrejo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Keduanya adalah Zainul dan Jukianto.
Mereka ditangkap berkat laporan masyarakat terkait aktivitas pungutan ilegal oleh petugas loket di pintu masuk kawasan wisata yang dikelola melalui Koperasi Ngudi Makmur Sukses. Ditemukan adanya praktik penarikan uang tiket masuk yang tidak disertai pemberian karcis.
Pelaku memanfaatkan loket wisata untuk menarik tiket masuk dengan nominal jauh di atas tarif resmi. Pengunjung diminta membayar sebesar Rp70.000, meskipun harga resmi tiket masuk hanya Rp15.000.
“Penarikan tarif ini dilakukan tanpa sepengetahuan pihak Perhutani atau Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Malang,” jelas Kasatreskrim Polres Malang AKP Muhammad Nur.