SURABAYA, tretan.news – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 343 aduan dugaan korupsi dari Kota Surabaya dalam periode 2020–2024. Angka tersebut menempatkan Surabaya di peringkat pertama se-Jawa Timur, disusul Kabupaten Sidoarjo (72 aduan) dan Kabupaten Probolinggo (64 aduan). Sementara laporan paling sedikit datang dari Kabupaten Ngawi dan Magetan, masing-masing 4 aduan.
Data tersebut dipaparkan Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah III KPK dalam pembukaan Roadshow Bus KPK di Gedung Negara Grahadi, Surabaya.
Dalam kesempatan itu, KPK menekankan strategi pencegahan korupsi melalui edukasi, penguatan integritas pejabat publik, hingga penegakan hukum.
KPK mencatat bahwa sejak reformasi, 54% dari 1.642 pelaku korupsi yang ditangani adalah pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Modus yang kerap terjadi mencakup penyalahgunaan APBD, pengelolaan aset, perizinan, serta pengadaan barang dan jasa.
Meski berbagai perbaikan sistem dilakukan melalui Monitoring Center for Prevention (MCP) dan Survei Penilaian Integritas (SPI), praktik transaksional tetap menemukan celah.
Klarifikasi Pemkot Surabaya
Menanggapi data KPK, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan bahwa 343 aduan tersebut bukan hanya terkait Pemkot Surabaya, melainkan seluruh instansi yang berkantor di Surabaya, termasuk kementerian dan Pemprov Jatim.
Menurutnya, laporan yang spesifik mengenai Pemkot Surabaya hanya sekitar 30 aduan, dan itu pun lebih banyak berupa komplain pelayanan, bukan dugaan korupsi.
Eri menambahkan, jika benar ratusan laporan itu menyasar Pemkot, maka nilai MCP Surabaya tak mungkin mencapai 97 poin, peringkat pertama se-Jatim tahun 2023, dan SPI sebesar 79,57%.
Gelombang Aksi Massa
Meski demikian, gelombang kritik terus muncul. Pada Kamis (25/9/2025), puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda Mahasiswa-Merah Putih (SPM-MP) menggelar aksi bertajuk “Surabaya Darurat Korupsi” di Balai Kota.
Mereka membawa poster, spanduk, hingga dokumen investigasi dugaan kejanggalan anggaran.
Sejumlah pos belanja dalam APBD 2025 dinilai janggal, antara lain:
– Sewa Peralatan dan Mesin: Rp 25,63 miliar
– Sewa Panggung, Tenda, LED Multimedia: Rp 10,85 miliar
– Sewa Mebel: Rp 4,86 miliar
– Sewa Elektronik: Rp 2,95 miliar
– Sewa 3.000 unit kipas angin Rp 1,3 miliar (Rp 433 ribu per unit)
Selain itu, beban utang Pemkot Surabaya disebut mencapai Rp 513,86 miliar dengan bunga 13,7%, jauh lebih tinggi dibanding pinjaman BUMN SMI yang hanya 6,5–7%. Bahkan, Pemkot berencana menambah utang baru senilai Rp 2,9 triliun pada 2026.
Dalam aksi tersebut, sempat terjadi ketegangan saat sekelompok massa yang diduga pendukung Wali Kota hadir untuk menghalau demonstrasi. Situasi akhirnya dikendalikan setelah Asisten I Pemkot Surabaya turun tangan mendengarkan aspirasi mahasiswa.
Laporan ke Kejati Jatim
Tidak berhenti di jalanan, pada Sabtu (27/9/2025), SPM-MP resmi melaporkan Wali Kota Surabaya ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Laporan tersebut menyoroti dugaan mark up perjalanan dinas luar negeri, pemborosan anggaran konsumsi, pengelolaan utang berbunga tinggi, serta sejumlah penyimpangan dalam APBD 2025.
Massa mendesak aparat hukum segera memeriksa Wali Kota Surabaya, dengan tiga tuntutan utama:
1. Memeriksa dan mengadili Wali Kota terkait dugaan penyalahgunaan wewenang.
2. Melakukan audit menyeluruh terhadap APBD 2025.
3. Menindak tegas potensi penyimpangan anggaran.
SPM-MP menegaskan bahwa aksi serupa akan terus berlanjut jika tuntutan tidak direspons secara obyektif.
Tekanan Publik
Kasus ini menjadi sorotan besar karena menyangkut nasib uang rakyat Surabaya. BPK RI sebelumnya mencatat adanya 22 temuan penyimpangan dengan nilai Rp 3,7 miliar pada 2023, serta rekomendasi Rp 11,93 miliar yang belum ditindaklanjuti.
“Aksi rakyat Surabaya adalah perlawanan terhadap praktik korupsi di Kota Pahlawan,” tegas koordinator aksi.
Kontributor: Eko Gagak