SURABAYA, tretan.news – Di jalanan ada pepatah beredar di kalangan yang paham lika-liku hidup di negeri ini, “Jika ingin selamat, hindari empat urusan. Jangan berurusan dengan pengadilan, polisi, rumah sakit, dan wartawan bodrek. Mengapa? Karena jika salah perhitungan, harta bisa ludes, mental terganggu dan keadilan bisa terasa semu.
Ini bukan sekadar satire murahan. Ini realita. Bertanyalah kepada mereka yang pernah berurusan dengan kepolisian, hampir bisa dipastikan 90 persen akan mengaku, ya, dimintai uang.
Tanyakan pada mereka yang tertangkap karena judi online, hampir bisa dipastikan 100 persen akan menjawab, ya, ada transaksi di balik berita acara pemeriksaan.
Betapa ironi. Saat mengurus SIM diwajibkan tes psikologi dan tes kesehatan, ternyata hanya formalitas kosong yang tak lebih dari upaya pemerasan sistemik.
Spanduk besar bertuliskan “No Korupsi” terpampang di setiap sudut kantor polisi, tetapi realita di dalamnya justru penuh transaksi kotor. Ini bukan hanya wajah buruk institusi, ini adalah borok yang terus dibiarkan bernanah.
Polisi, di satu sisi, adalah institusi yang memiliki kewenangan luar biasa, menangkap, mengadili secara moral, dan mengendalikan narasi hukum. Namun di sisi lain, pihaknya alergi terhadap kritik. Buktinya? Kasus yang menimpa Sukatani, band punk asal Purbalingga.
REALITA PAHIT
Sukatani baru saja merilis lagu “Bayar Bayar Bayar”, sebuah sindiran terhadap praktik koruptif kepolisian. Mereka mengangkat realitas pahit yang sering dialami masyarakat. Berurusan dengan polisi hampir selalu berujung pada pungutan liar.
Kritik yang disampaikan dalam alunan musik punk ini langsung menyentak publik, memantik dukungan luas dari mereka yang merasa diwakili oleh duet Muhammad Syifa Al Ufti alias Electroguy (gitaris) dan Novi Chitra Indriyaki alias Twistter Angels (vokalis).
Namun alih-alih dijawab dengan refleksi dan perbaikan, respons kepolisian justru berupa represi. Para personel Sukatani dipanggil, digiring ke kantor polisi, direkam dalam video permintaan maaf, dan lagu mereka ditarik dari peredaran. Ini bukan sekadar intervensi, ini adalah pembungkaman.
Jika Polri merasa tidak korup, mengapa merasa tersinggung? Jika merasa tak bersalah, mengapa harus menekan suara-suara kritis? Seperti pepatah lama, buruk muka cermin dibelah. Alih-alih introspeksi, polisi memilih membungkam refleksi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kritik dari sebuah band punk ditindak begitu cepat, sementara ada banyak orang yang terang-terangan mencaci maki Presiden sebagai simbol tertinggi negara justru dibiarkan berkeliaran bebas?
Lihatlah bagaimana Rocky Gerung, Faizal Assegaf, Said Didu, Ray Rangkuti, Abraham Samad, Refli Harun, Connie Bakri dan sederet nama lain yang terus menyebarkan narasi sesat tanpa tersentuh hukum. Bukankah martabat Presiden harus dijaga kehormatannya dengan sepenuh jiwa oleh kepolisian?.
LEBIH KERAS
Di satu sisi, Polri ingin dikenal sebagai institusi yang tegas. Namun di sisi lain, keberanian mereka tampaknya hanya berlaku bagi rakyat kecil, bukan bagi elite yang dianggap berpengaruh. Jika Polri benar-benar bertaji, mengapa hukum seperti diterapkan secara tebang pilih?
Sukatani mungkin telah meminta maaf, tetapi kritik yang mereka suarakan tidak akan mati begitu saja. Musik punk memiliki sejarah panjang sebagai media perlawanan. Dari Sex Pistols di Inggris hingga Superman Is Dead di Indonesia, adalah suara bagi mereka yang merasa ditindas dan diabaikan.
Polisi boleh saja menghapus lagu dari platform digital, tetapi mereka tak akan bisa menghapusnya dari ingatan masyarakat. Sejarah telah membuktikan bahwa musik dan perlawanan akan selalu menemukan jalannya.
Indonesia butuh kedewasaan berdemokrasi bukan demokrasi yang dibatasi oleh ketakutan. Suara rakyat tak bisa dibungkam. Jika Sukatani telah dibuat bisu maka akan ada suara lain bermunculan, lebih mengguncang, bahkan jauh lebih keras!.