SURABAYA, tretan.news – Menyendiri itu penting bagi seseorang, karena akan banyak tema yang dibicarakan dengan diri sendiri. Rodok ana benere yoan pesan Mbah Rumi. Tapi kalau menyendiri terus ya bisa njamur, bekuthuren. Sesekali hang out lah.
Di ujung malam Jumat di laman WhatsApp, Cak Umar, ‘tretan dibik’ ngabari, “Wak, sepurane gak sempat ngirim undangan, malam Minggu aku mantu, datang ya?”
Iyot, cekak aja sahutanku. Tak pikir, ini kesempatan untuk mengayuh dayung menyinggahi dua tiga pulau.
Reng Medure embongan, macam Umar, kalau punya gawe yang diundang cemacem klaster. Ada orang warungan, ormas petok lemak, kleb teropan, kelompok tok-otok selain konco² wartawan and pengajian. Si Umar (tanpa Bakri) ini merintis portal berita Tretan dot com lalu mbuat ormas Tretan merambah orkes dangdut, New Tretan.
Sampai di lokasi Umar bilang, “Sampeyan tak siapno tempat nok pojok pinggir kuwade, adoh teko sound system dadi nek diskusi gak brebeken.”
Di situ yang wartawanan dikumpulkan. Karena dianggap garangan, saya ditakoni tentang isu² jurnalisme yang amburadul.
Dalam tempo yang begitu singkat tentu tak perlu banyak kata² penjelasan. Tok slorok, blak kutang. Nyeplos ae tanpa beban, “Sekarang ada 60.000 media online, hanya 2.000an yang memenuhi syarat. Selainnya diolah secara serampangan, itulah sampah peradaban.”
Gerayahono awake dhewe², sing mbok lakoni bener po ra? Tak berapa lama mereka pamit, atret dari terop kemanten.
Ganti klaster. Konco² ngaji berdatangan, sudah lama banget saya nggak ketemu. Bersama merekalah sahaya menimba ilmu spiritual dalam sebuah sekte ala Siti Jenar tentang wahdatul wujud atau manunggale kawula Gusti.
Bagi awak saya ini fase lanjutan dari sekian jalan ruhani dengan pelajaran berbeda, tak terasa sudah puluhan tahun ‘mbegendeng’. Jadi kalo ada yang mabuk agama, gendenge sik kalah nemen sama awak saya. Anehe ketika ngedepin wong mabuk agama, gendengku ilang.
