Pendidikan Hukum Butuh Etika, Bukan Sekadar Hafalan Pasal

Artikel, Berita, Hukum92 Dilihat

GRESIK, tretan.news — Pendidikan hukum di Indonesia dinilai tengah mengalami dilema serius. Di tengah derasnya perubahan peraturan perundang-undangan, muncul kritik bahwa lulusan hukum lebih sibuk menghafal pasal ketimbang membangun integritas.

Hal ini disampaikan oleh praktisi hukum, H. M. Gufron, S.H., dalam diskusi mengenai reformasi pendidikan hukum.

Menurut Gufron, kurikulum hukum saat ini terlalu menekankan hafalan pasal, padahal praktik hukum di lapangan menunjukkan bahwa krisis terbesar berada pada etika penegak hukum.

“Hukum tanpa etika itu seperti pedang di tangan orang yang salah. Kita banyak melihat sarjana hukum cerdas, tapi justru terjerat korupsi karena tidak dibekali kompas moral yang kuat,” ujar Gufron.

Ia menyoroti data Komisi Yudisial yang mencatat ratusan pelanggaran etik hakim setiap tahun. Mahkamah Agung juga melaporkan peningkatan kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan aparat penegak hukum.

“Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa masalah kita bukan kurang hafal pasal, tetapi kurangnya integritas. Pasal bisa dicari di buku atau aplikasi, tapi etika tidak bisa diunduh,” tegasnya.

Etika Bukan Pengganti Pasal, Namun Fondasi

Gufron menegaskan bahwa dirinya tidak menolak pentingnya penguasaan hukum positif. Namun, menurutnya, pendidikan etika harus menjadi prioritas utama karena pasal akan terus berubah, sedangkan prinsip moral tetap abadi.

“UU bisa berubah setiap tahun, tapi nilai kejujuran dan keadilan itu tidak pernah kedaluwarsa. Sarjana hukum yang berintegritas tidak akan tergoda menyalahgunakan kewenangannya,” kata Gufron.

Ia mencontohkan berbagai kasus penegak hukum yang memiliki prestasi akademik tinggi, namun terjerat kasus suap, seperti hakim, jaksa, dan advokat.

“Pengetahuan teknis tanpa etika justru bisa berubah menjadi alat kejahatan. Dan itu yang sekarang sering kita lihat di ruang-ruang peradilan,” ujarnya.

Teknologi Boleh Menggantikan Hafalan, Tapi Tidak Menggantikan Nurani

Di era digital, mahasiswa hukum dapat mengakses ribuan peraturan hanya melalui ponsel. Karena itu, menurut Gufron, fokus pendidikan seharusnya diarahkan pada pembentukan karakter, bukan sekadar kemampuan menghafal.

“Hari ini pasal bisa dicari dalam lima detik lewat aplikasi. Tapi keputusan etis tidak bisa dibantu Google. Itu kembali pada karakter,” ungkapnya.

Pesan Gufron untuk Mahasiswa Hukum

Menutup keterangannya, Gufron menyampaikan pesan tegas kepada calon sarjana hukum.

“Jadilah ahli hukum yang berintegritas, bukan hanya tukang pasal. Gelar Sarjana Hukum tidak menjamin kehormatan, tapi integritas menjamin masa depan. Gunakan ilmu Anda untuk menegakkan keadilan, bukan menciptakan celah untuk menyimpang,” pungkasnya.

Penulis : Praktisi Hukum
H.M. Gufron, S.H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *