MALANG, tretan.news – Carut marut persoalan rencana pembangunan jalan tembus di kawasan Perumahan Griya Shanta Kota Malang terus menjadi perbincangan publik.
Terlebih hingga saat ini warga RW 12 tetap Keukeh menolak pembangunan tersebut dengan alasan pembukaan jalan tembus akan mengganggu privasi, keamanan, dan ketenangan lingkungan perumahan yang selama ini terjaga, serta ada dugaan apabila pembangunan jalan tembus itu di lakukan maka akan menguntungkan pihak pengembang.
padahal, bangunan berupa dinding tersebut berdiri di atas lahan fasum yang telah diserahkan ke Pemerintah Kota (Pemkot) Malang dengan berita acara serah terima nomor: 640/984/35.73.403/2020 (01/BAST.admin/BPM_GSE/XI/2020) pada tanggal 5 November 2020 lalu
Selain itu, juga ada surat berita acara dinomor : 17/BA/WK/DSP-1/997 (181.2/331/428.401/1997) tanggal 24 Februari 1997 silam, tentang serah terima lahan prasarana, sarana, dan utilitas ( PSU) Perumahan Griya Shanta Blok K dan L kepada Pemkot Malang.
Sehingga, Pemkot Malang mengklaim bahwa kawasan tersebut, termasuk rencana jalan tembus, sudah diserahkan sebagai PSU kepada pemerintah daerah, sehingga menjadi kewenangan Pemkot untuk mengelolanya menjadi akses publik.
Meski sudah jelas bahwa lahan tersebut sudah di miliki pihak Pemkot Malang namun Warga RW 12 Perumahan Griya Shanta tetap menolak keras rencana tersebut. Mereka merasa belum ada komunikasi yang memadai dari pihak Pemkot maupun pengembang, dan khawatir status jalan yang akan dibangun tidak jelas.
Penolakan tersebut membuat Pemkot Malang menerbitkan surat peringatan ( SP) 1 hingga (SP) 3 kepada RW 12 Namum tetap saja tidak di gubris, bahkan warga RW 12 ada rencana untuk membangun patung presiden Prabowo sebagai bentuk protes.
Menanggapi hal tersebut, Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan Malang Raya, Awangga Wisnuwardhana mengatakan bahwa Surat Peringatan (SP) yang telah di terbitkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja ( Satpol) PP sampai 3 Kali Pada warga RW 12 namun tidak ada respon dari warga tersebut ini menunjukkan komunikasi antara Pemkot Malang dengan warganya tidak terjalin dengan baik.
“Hal ini menunjukkan Walikota Malang belum bisa bertindak tegas dan humanis. Harusnya sebagai seorang walikota, kalau dasar hukum sudah jelas, langsung aja tentukan sikap,” Ucap Awangga saat di konfirmasi melalui pesan WhatsApp Senin (3/11/25).
Awangga juga menegaskan, mengacu pada pasal 33 UUD 45 dan juga pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial.
“Artinya, penggunaan tanah harus bermanfaat bagi kesejahteraan pemiliknya dan juga masyarakat serta negara, tidak bisa hanya untuk kepentingan pribadi jika merugikan orang lain,” Tegasnya.
Ia menuturkan, bahwa tanah tersebut sudah di serahkan ke Pemkot, hingga saat ini di pergunakan untuk aktivitas dan bermanfaat bagi seluruh warga, bukan di gunakan untuk kepentingan individu.
“Penggunaan tanah kan jelas untuk jalan tembus, jika digunakan untuk bangun patung, maka tidak sesuai dengan peruntukannya,” Ucap Awangga yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa manajemen ilmu hukum di universitas wisnuwardhana malang.
“Jika polemik ini dibiarkan seperti bola liar, lama-lama jika ada warga yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah Kota Malang, akan bangun patung Presiden dan Wapres lagi di lokasi lain,” Tukasnya.







