SAMPANG, TRETAN.news – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ketapang kembali menuai sorotan setelah seorang pasien mengaku dipungut biaya hampir Rp4 juta meski tercatat sebagai peserta aktif BPJS Kesehatan dalam program Universal Health Coverage (UHC).
Luluul Mukarromah, warga Desa Ketapang Timur, terpaksa membayar Rp3.941.568 saat hendak pulang setelah melahirkan di RSUD milik Pemkab Sampang tersebut, Kamis (12/9/2025). Padahal, status kepesertaan BPJS-nya sudah ditunjukkan kepada pihak rumah sakit.
Kelahiran buah hati yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan justru berubah menjadi kesedihan bagi Lulu. Alih-alih pulang dengan lega, ia harus merogoh kocek jutaan rupiah untuk “menebus” diri dari rumah sakit daerah tersebut.
“Saya melahirkan di RSUD Ketapang. Saat mau pulang, saya tetap dipungut biaya Rp3,9 juta, padahal sudah saya sampaikan kalau saya peserta BPJS/UHC. Kalau begitu, untuk apa ada program UHC kalau masih harus bayar?” keluh Lulu saat ditemui di kediamannya, Jumat (12/9/2025).
Ibu muda itu merasa kecewa dengan pelayanan RSUD Ketapang yang dinilai mencederai semangat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menurutnya, tindakan tersebut sangat merugikan masyarakat, terutama kalangan ekonomi lemah.
Lulu tidak hanya mengeluhkan pungutan tersebut, tetapi juga menuntut pengembalian dana yang telah dibayarkan. Ia juga mendesak Bupati Sampang untuk turun tangan mengatasi permasalahan di RSUD Ketapang.
“Saya minta uang saya dikembalikan. Jangan sampai ada lagi warga miskin yang jadi korban pungutan seperti ini. Bupati harus mengecek langsung RSUD Ketapang,” tegas wanita yang baru saja menjadi ibu ini.
Korban juga khawatir kasus serupa menimpa pasien lain, mengingat RSUD Ketapang merupakan rujukan utama masyarakat Sampang bagian timur. Ia berharap pengalaman pahitnya menjadi yang terakhir terjadi di rumah sakit daerah tersebut.
Praktik pungutan yang dialami Lulu jelas bertentangan dengan berbagai regulasi nasional. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menegaskan bahwa setiap peserta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi.
Pasal 52 ayat (1) UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sementara Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan secara tegas melarang fasilitas kesehatan melakukan pungutan tambahan di luar ketentuan BPJS.
Berdasarkan regulasi tersebut, tindakan RSUD Ketapang berpotensi masuk kategori pungutan liar (pungli) yang dapat dikenai sanksi hukum. Hal ini juga bertentangan dengan semangat program UHC yang digembar-gemborkan Pemkab Sampang sebagai inovasi pelayanan kesehatan.
Saat dikonfirmasi, Direktur RSUD Ketapang dr. Sukarno mengaku masih perlu memverifikasi kebenaran informasi tersebut dengan petugas yang menangani pasien. Ia meminta waktu untuk melakukan investigasi internal.
“Wa’alaikumsalam, baik mas, saya konfirmasi dulu ke petugas yang menangani. Saya minta waktu dulu ya,” ujar dr. Sukarno saat dihubungi melalui pesan singkat, Jumat siang.
Direktur yang baru menjabat sejak awal 2025 itu juga meminta bukti kwitansi pembayaran dari pasien untuk mempercepat proses penelusuran.
“Tolong kwitansinya dikirim ke saya mas, biar lebih cepat saya menelusurinya,” tambah dokter lulusan Universitas Airlangga tersebut.
Pengamat kesehatan dari Universitas Trunojoyo Madura, Dr. Ahmad Yani, menilai kasus ini tidak bisa dianggap remeh. Menurutnya, RSUD Ketapang sebagai rumah sakit daerah harus tunduk pada regulasi nasional terkait BPJS Kesehatan.
“Ini alarm keras bagi pemda untuk evaluasi sistem pelayanan kesehatan. Program UHC yang dibanggakan bisa kehilangan kredibilitas jika kasus seperti ini terus terjadi,” kata Dr. Ahmad Yani saat dihubungi, Jumat malam.
Akademisi yang juga praktisi hukum kesehatan itu menambahkan, pungutan ilegal di fasilitas kesehatan pemerintah merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi yang menjamin hak kesehatan warga negara.
Program Universal Health Coverage (UHC) yang diluncurkan Pemkab Sampang pada 2023 lalu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kesehatan menyeluruh bagi seluruh warga, termasuk yang belum terdaftar BPJS. Program ini sempat menuai pujian sebagai inovasi pelayanan publik.
Namun, kasus Lulu menunjukkan masih adanya celah dalam implementasi program tersebut. Data Dinas Kesehatan Sampang mencatat tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mencapai 78% pada 2024, namun masih ada keluhan terkait transparansi biaya.
Ketua Komisi IV DPRD Sampang, Sahlan, menyatakan akan memanggil pihak RSUD Ketapang untuk memberikan klarifikasi terkait kasus ini. Ia menilai tindakan tersebut mencoreng nama baik pemerintah daerah.
“Kami akan panggil direktur RSUD beserta jajarannya. Kalau benar ada pungutan ilegal, harus ada sanksi tegas. Ini menyangkut kredibilitas program UHC kita,” tegas Sahlan.
Politisi Partai Demokrat itu juga berjanji akan mengawal proses pengembalian dana kepada korban dan memastikan tidak ada lagi kasus serupa di masa depan.
Masyarakat kini menanti respons dan langkah tegas Bupati Sampang Slamet Junaidi untuk menuntaskan kasus ini. Sebagai kepala daerah yang gencar mempromosikan program UHC, Bupati diharapkan dapat memastikan implementasi program berjalan sesuai regulasi.
Kasus Luluul Mukarromah menjadi ujian bagi komitmen Pemkab Sampang dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang adil dan terjangkau. Penanganan yang tidak tuntas berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap program unggulan daerah tersebut.
Publik berharap, investigasi yang dijanjikan direktur RSUD tidak hanya sebatas janji kosong, melainkan benar-benar menghasilkan pertanggungjawaban dan perbaikan sistem yang komprehensif.







