SURABAYA, tretan.news – Di dunia yang bergerak cepat dan sering kali gaduh, keindahan menawarkan ruang jeda. Ia tak hanya menyenangkan mata tetapi juga memberi nutrisi bagi jiwa.
Menikmati keindahan adalah cara manusia menjaga kewarasannya. Mengalirkan kesegaran batin, menenangkan raga, bahkan memulihkan luka yang tak tampak.
Namun keindahan sejati dalam karya seni rupa bukanlah sesuatu yang instan. Ia lahir dari pergulatan panjang dari tangan-tangan yang tidak hanya terampil tetapi juga sadar akan makna setiap garis dan warna yang ditorehkan.
Hanya pelukis yang memilih jalan ini dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi yang mampu menghadirkan keindahan yang menggetarkan.
Seorang perupa sejati melatih dirinya secara intensif. Ia tak puas hanya pada kepandaian teknis. Ia mengasah kepekaan visual hingga mampu membaca dan mengendalikan komposisi, gradasi warna, keseimbangan volume, hingga ritme bidang dan tekstur.
Tapi yang lebih penting, ia menempuh proses pendalaman intelektual dan spiritual, sebuah upaya yang menambah bobot kekaryaan, menjadikan lukisan bukan sekadar benda estetis tetapi cermin perenungan dan ekspresi yang autentik.
Bahasa seni rupa yang digunakan pun bukan bahasa biasa. Ia metaforis, simbolik bahkan kadang nyaris tak terucapkan dalam kata.
Di situlah letak kekuatan dan kejujurannya. Ketika karya bisa berbicara sendiri melampaui literalitas akan menyentuh batin penikmatnya.
Dalam lukisan yang jujur dan matang, penjiwaan itu terbaca. Ia memancar dan menyentuh. Ia menggetarkan dan menghangatkan. Kadang begitu kuat hingga membuat tubuh merinding, mata meremang dan air mata jatuh diam-diam.
Sebuah pameran adalah perayaan atas keindahan yang lahir dari proses. Setiap karya yang ditampilkan membawa serta ruh dari ketekunan, pencarian, dan penajaman batin. Sebuah ajakan untuk berhenti sejenak dan dengan penuh kesadaranmenikmati keindahan. Itu penting.
