‎Negeri Sumpek, Tuhan Tak Kuasa Menjawab

Artikel, Berita38 Dilihat

SURABAYA, tretan.news – Jumat kelabu, 29 Agustus 2025. Sejumlah kota di Indonesia mendadak seperti lautan api. Massa meledak, jalan-jalan dipenuhi teriakan, lemparan batu, kobaran ban. Seakan bendungan rapuh jebol, rakyat yang terlalu lama dicekik akhirnya tak sanggup lagi menahan diri.

‎Mereka tidak sedang mengutip firman Tuhan. Mereka hanya meraung karena ruang hidup makin sempit. Harga kebutuhan pokok melambung, pajak menjerat, sementara istana dan parlemen sibuk bersolek dengan angka-angka indah di layar proyektor. Indeks, hilirisasi, surplus, semua manis di bibir pejabat, tapi tak pernah hadir di meja makan rakyat.

‎Di tempat lain, fasilitas negara jadi panggung hedonisme. Eksekutif BUMN menimbun harta, politisi berpesta, sementara rakyat mencatat cicilan yang lebih kejam dari lintah darat. Maka lahirlah bisikan getir: “Tuhan, ini tidak adil.” Tapi Tuhan memilih bungkam, cuek. Barangkali Ia sumpek.

‎Surabaya yang terkenal ramah pun ikut bergolak. Gedung Negara Grahadi dikepung, aparat melepaskan gas air mata, meriam air memukul balik. Doa berganti batuk-batuk sesak. “Polisi tugasnya melindungi, bukan membunuh!” teriak seorang ojol. Satu kalimat itu lebih jujur ketimbang semua pidato pejabat.

‎Rakyat bukanlah teroris. Mereka hanya manusia yang bosan menelan tontonan korupsi, keserakahan pejabat, dan kekuasaan yang menekan. Maka begitu ada celah, amarah pun meledak. “Budaaalll!!” kata orang kampung yang uripe sumpek.

‎Sejarah mencatat, suara rakyat pernah dianggap suara Tuhan. Kini, suara itu justru dijawab dengan gas air mata. Apakah Tuhan sedang pingsan? Atau hanya enggan mendengar?

‎ Jika penguasa tak segera sadar, besok – amuk massa akan berubah menjadi amuk sejarah.

‎Penulis Esai:
Rokimdakas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *