Mengapa Orang Madura Kerap Mendapat Stigma Negatif

Artikel, Berita, Sosial40 Dilihat

TRETAN, News – Suku Madura merupakan kelompok etnis yang mendiami Pulau Madura dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, populasi suku Madura mencapai lebih dari 7 juta jiwa.

Meskipun berada dalam wilayah administratif Jawa Timur, masyarakat Madura memiliki bahasa dan tradisi budaya yang berbeda dari etnis Jawa.

Penasehat Hukum tretan.news, H.M. Gufron S.H., menjelaskan bahwa stigma negatif terhadap suku Madura seringkali muncul dari kesalahpahaman dan generalisasi yang tidak adil.

“Stereotip terhadap etnis tertentu, termasuk Madura, sebenarnya lahir dari pengalaman terbatas dan pemahaman yang tidak menyeluruh. Orang Madura memiliki keberagaman karakter seperti etnis lainnya di Indonesia,” ujar Gufron.

Seperti suku Minangkabau dan Tionghoa, masyarakat Madura dikenal memiliki tradisi merantau yang kuat.

Kondisi geografis Pulau Madura yang kurang mendukung sektor pertanian mendorong banyak warga untuk mencari peluang ekonomi di luar daerah asal.

Mereka tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jabodetabek, Jawa Tengah, hingga negara-negara seperti Malaysia, Brunei, dan Timur Tengah.

Menurut Gufron, etos kerja orang Madura yang tinggi justru kerap memicu kecemburuan sosial di daerah rantau.

“Orang Madura dikenal sebagai pekerja keras dan ulet. Di banyak daerah rantau, mereka mampu berkembang pesat secara ekonomi.

Kesuksesan ini kadang menimbulkan ketidaknyamanan atau kecemburuan dari masyarakat setempat, yang kemudian melahirkan stigma negatif,” jelasnya.

Cara berkomunikasi masyarakat Madura yang cenderung tegas dengan intonasi tinggi sering dianggap kasar oleh kelompok etnis lain. Gufron menilai ini sebagai bentuk kesalahpahaman budaya.

“Cara bicara yang tegas adalah bagian dari karakter budaya mereka, bukan berarti kasar atau tidak sopan. Di balik karakter yang kuat itu, orang Madura sebenarnya sangat ramah, kompak, dan religius. Banyak ulama besar Indonesia juga berasal dari Madura,” kata Gufron.

Bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi. Hal ini tercermin dalam pepatah Lebbi Bagus Pote Tollang, Atembang Pote Mata yang bermakna “lebih baik mati daripada menanggung malu.

Prinsip inilah yang melahirkan tradisi Carok, sebuah duel untuk mempertahankan kehormatan.

“Tradisi Carok memang pernah ada, tetapi generasi muda Madura saat ini sudah jauh berbeda. Mereka lebih terdidik dan mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih dewasa,” ungkap Gufron.

Gufron menekankan bahwa karakter masyarakat Madura tidak seragam dan sangat bergantung pada wilayah asal mereka.

“Masyarakat Madura Timur seperti Sumenep dan Pamekasan cenderung lebih halus dalam berbahasa dan bersikap. Sementara Madura Barat seperti Sampang dan Bangkalan memang dikenal lebih tegas.

Karena perantau lebih banyak dari Madura Barat, karakter mereka sering digeneralisasi sebagai gambaran seluruh orang Madura, padahal tidak demikian,” paparnya.

Ia menambahkan, “Penting bagi kita untuk tidak terjebak pada stereotip. Setiap etnis memiliki keberagaman internal yang perlu dipahami dengan adil.”

Gufron menegaskan bahwa stigma negatif terhadap etnis mana pun, termasuk Madura, harus dihindari karena tidak mencerminkan kebenaran menyeluruh.

“Orang Madura, seperti kelompok etnis lain di Indonesia, memiliki keberagaman karakter, budaya, dan cara hidup. Mereka adalah salah satu kelompok paling ulet dan pekerja keras di negeri ini. Sudah saatnya kita menghargai keberagaman tanpa prasangka,” tutupnya.

Oleh : H.M. Gufron S.H.
Penasehat Hukum
tretan.news,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *