SURABAYA, tretan.news – Program jaminan sosial di Indonesia menghadapi tantangan serius. Rendahnya literasi publik, keterbatasan kesejahteraan, hingga pandangan religius ekstrem menjadi hambatan utama dalam membangun kesadaran masyarakat.
Hal ini disampaikan pengamat jaminan sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, dr. Elyasani Irwanti, dalam wawancara daring di Jakarta.
Menurut Elyasani, literasi publik masih menjadi pekerjaan rumah besar. “Banyak pekerja hanya melihat iuran sebagai potongan gaji. Padahal manfaatnya jauh lebih besar, mulai dari perlindungan kesehatan, kecelakaan kerja, hingga jaminan hari tua,” ujarnya.
Faktor kedua adalah kondisi kesejahteraan. Sebagian masyarakat merasa iuran jaminan sosial terlalu mahal dibanding kebutuhan harian.
“Akibatnya, proteksi jangka panjang diabaikan,” tambahnya.
Tantangan ketiga justru datang dari cara pandang sebagian kelompok masyarakat. Ada yang meyakini sakit, kecelakaan, atau kematian sepenuhnya urusan Tuhan, sehingga tidak perlu perlindungan sosial.
“Padahal jaminan sosial adalah ikhtiar bersama dan tanggung jawab ekonomi agar keluarga tidak jatuh miskin,” tegas Elyasani.
Elyasani menekankan, jaminan sosial tidak hanya diperuntukkan bagi pekerja formal, tetapi juga pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) seperti petani, pedagang, seniman, freelancer, hingga mitra ojek online.
Namun, kesadaran dan kemampuan finansial menjadi hambatan besar.
“Pekerja informal sering tidak terbiasa menyisihkan penghasilan untuk perlindungan jangka panjang. Padahal merekalah yang paling rentan karena tidak memiliki penghasilan tetap,” ungkapnya.
Menjawab pertanyaan banyak pekerja tentang pentingnya jaminan sosial, Elyasani menegaskan: “Ini bukan sekadar kewajiban administratif. Jaminan sosial adalah perlindungan dasar agar setiap warga tetap hidup layak ketika menghadapi risiko.”
Ia mencontohkan, keluarga bisa jatuh miskin jika tulang punggungnya sakit, mengalami kecelakaan kerja, atau memasuki usia pensiun tanpa persiapan. Kehadiran negara melalui BPJS memastikan hal itu tidak terjadi.
Sistem perlindungan sosial sendiri berdiri di atas tiga pilar. Pertama, bantuan sosial bagi kelompok miskin dan rentan. Kedua, asuransi sosial berbasis iuran, seperti BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, pilar tambahan berupa asuransi swasta atau tabungan pribadi.
“Ketiganya harus saling menopang agar masyarakat tidak rapuh menghadapi risiko hidup,” katanya.
Iuran Bisa Diambil Kembali
Elyasani menyinggung keberhasilan sejumlah negara. Jerman, misalnya, sudah sejak abad ke-19 mewajibkan perusahaan mendaftarkan pekerjanya ke dalam sistem asuransi sosial.
Jepang memiliki asuransi kesehatan universal dengan peran besar pemerintah dalam menanggung kelompok rentan. Sementara Australia menggabungkan skema asuransi sosial dengan bantuan sosial, lewat program Medicare dan tunjangan keluarga.
“Ketiga negara ini membuktikan bahwa jaminan sosial adalah fondasi masyarakat sehat, tangguh, dan berdaya saing,” ujarnya.
Terkait fleksibilitas dana, Elyasani menjelaskan, iuran tidak hilang begitu saja. Dana Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dicairkan, baik sebagian maupun penuh.
“Sebagian, misalnya 10 persen untuk persiapan pensiun atau 30 persen untuk membeli rumah, dengan syarat kepesertaan minimal 10 tahun. Sedangkan pencairan penuh berlaku bagi pekerja yang berhenti bekerja, terkena PHK, atau pensiun,” jelasnya.
Kini, proses pencairan lebih mudah melalui aplikasi JMO (Jamsostek Mobile) tanpa harus antre di kantor cabang.
Elyasani menegaskan tiga langkah penting agar sistem jaminan sosial di Indonesia lebih kokoh. Pertama, meningkatkan literasi melalui sosialisasi masif.
Kedua, memperluas cakupan peserta, khususnya pekerja informal dengan skema iuran yang lebih fleksibel. Ketiga, memperbaiki layanan agar klaim cepat, mudah, dan transparan.
“Jika langkah ini dijalankan, Indonesia bisa meniru kesuksesan Jerman, Jepang, atau Australia dalam membangun perlindungan sosial yang kuat,” Elya mengunci keterangannya.
Rokimdakas
Penulis Surabaya
7 September 2025