SURABAYA, tretan.news – Di balik kemajuan ekonomi dan gegap gempita pembangunan, Surabaya masih menyimpan pekerjaan rumah besar: menyediakan “rumah” yang layak bagi para pekerja kreatifnya.
Sebagai kota metropolitan yang kian industrialis terlihat dari dinamika budaya yang tak pernah padam ekosistem seni di Kota Pahlawan sejatinya belum sekuat riuhnya pusat perbelanjaan atau pabrik-pabrik yang tumbuh di pinggiran kota.
“Ruang ekspresi dan infrastruktur seni kita masih jauh dari kata ideal. Banyak seniman muda terpaksa mengerem mimpi gara-gara biaya sewa dan birokrasi,” tutur Jil Kalaran, Koordinator Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS).
Ruang Pamer yang (Masih) Terbatas
Surabaya memang memiliki beberapa landmark kebudayaan—Gedung Cak Durasim, House of Sampoerna, Balai Pemuda. Namun, akses ke tempat-tempat ini kerap tersumbat regulasi atau tarif sewa yang tak ramah kantong.
Beruntung, masih ada Galeri DKS dan Galeri Merah Putih di Kompleks Balai Pemuda yang membuka pintu dengan biaya terjangkau, bahkan telah merancang jadwal pameran lukisan setahun penuh. Di luar itu, Galeri Prabangkara di Taman Budaya Jawa Timur juga turut menjaga nyala seni visual.
Meski demikian, ketersediaan ruang belum berbanding lurus dengan lonjakan kebutuhan. Para pelaku seni pertunjukan, misalnya, masih kerepotan mencari panggung yang layak—atau terpaksa menggelar acara di kafe kecil sembari menyalakan kotak donasi di ujung panggung.
Persoalan Pendanaan dan Regulas
Di sektor pembiayaan, seniman lebih sering bertahan hidup lewat dana pribadi atau “sponsor musiman” yang mood-nya bisa naik turun. Rumori terbaru justru menambah beban: dana kesenian Pemkot Surabaya kini hanya dapat disalurkan kepada lembaga yang sudah mengantongi SK Wali Kota. Lantas, bagaimana nasib sanggar-sanggar mandiri yang menjadi mata rantai penting ekosistem ini?
“Kalau regulasi ketat tidak diimbangi pendampingan dan transparansi, lembaga kesenian akan pincang. Kita butuh kemudahan sekaligus pengawasan yang jelas,” kata Arif Afandi, mantan Wakil Wali Kota Surabaya yang kini giat mengadvokasi kebijakan kebudayaan.
Tiga Pilar Penguatan Ekosistem
1. Infrastruktur & Akses
Pemerintah kota—sebagai regulator sekaligus fasilitator—perlu menambah ruang seni yang mudah dijangkau. Skema subsidi sewa gedung atau pemotongan retribusi bisa menjadi obat cepat.
2. Pendanaan Transparan
Hibah kompetitif, kolaborasi dengan sektor swasta, dan platform crowdfunding yang diawasi publik membuka jalan baru bagi proyek kreatif.
3. Jejaring & Apresiasi
Inkubasi seniman muda, festival rutin, hingga edukasi seni di sekolah akan melahirkan ekosistem yang saling menguatkan dari pencipta, kurator, galeri, sampai penikmat.
FPKS: Bergerak, Bukan Sekadar Mengelu
Mengusung semangat Budaya Arek terbuka, gotong-royong, alias rewang FPKS siap turun tangan. Puncaknya, 21 Juli 2025 pukul 19.00 WIB di Galeri DKS, mereka menghelat malam lintas-genre: musik dan puisi oleh Jawiswara-Unesa, Gapus-Unair, SSS, POSS, Saung Indonesia, Sanggar Anak Merdeka Indonesia, serta Surabaya Music Time. Arif Afandi dijadwalkan membawakan Orasi Budaya bertema “Membangun Ekosistem Kesenian yang Sehat di Kota Surabaya.”
Tak berhenti di satu malam, FPKS menargetkan rangkaian program seni berjalan 12 bulan penuh dari workshop, diskusi, hingga pameran keliling. Dukungan publik amat krusial; pintu donasi pun dibuka lebar.
“Seni bukan cuma hiburan, melainkan investasi identitas kota. Kami butuh tangan bersama agar laju Surabaya kreatif tidak macet di tengah jalan,” tegas Jil Kalaran.
Menuju Surabaya Kreatif
Jika infrastruktur diperbaiki, pendanaan dipastikan berpihak, jejaring diperluas, dan masyarakat diajak turut menikmati, Surabaya berpotensi sejajar dengan Yogyakarta atau Bandung sebagai magnet seni tanah air bahkan merambah kancah global.
Karena sejatinya, di balik setiap mural, panggung monolog, atau senar bass yang bergetar, tersimpan narasi besar tentang siapa diri kita dan ke mana kota ini ingin melangkah.
Dengan komitmen jangka panjang dari semua pemangku kepentingan pemerintah, pelaku, penikmat, dan sektor swasta, Surabaya bukan hanya akan dikenal sebagai kota perdagangan, melainkan juga kota ekspresi budaya yang hidup dan bernyawa.