Matinya Perusak Stabilitas Sosial

Penulis : Rokimdakas

SURABAYA, tretan.news – Konon, ilmu tanpa agama jadi buta. Agama tanpa ilmu akan gila. Dua adagium yang seharusnya menjadi pagar akhlak dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Namun di Indonesia adagium tersebut seperti tinggal hiasan lidah, dikutip dalam ceramah ditulis dalam buku tetapi dikhianati dalam praktik.

Pemerintahan Prabowo–Gibran baru saja seumur jagung. Dalam analogi pertanian, belum waktunya panen, batangnya pun belum sempurna berdiri.

Tapi kegaduhan sudah direkayasa. Ironisnya bukan oleh rakyat jelata yang kesulitan hidup melainkan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai “intelektual”, “oposan idealis” atau “pembela kebenaran”. Mereka bukan menyampaikan kritik konstruktif tetapi menyulut konflik destruktif.

Mari bicara tentang angka. Sebanyak 56 persen pemilih atau lebih dari 96 juta suara sah, memilih pasangan Prabowo-Gibran. Ini adalah mandat demokratis bukan hasil tipu daya.

Dua pasangan lain yang kalah, yakni Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, sebelumnya bersumpah siap menang, siap kalah. Tapi sumpah itu nyatanya cuma gincu politik. Begitu kalah, yang tersisa adalah kemunafikan.

Kemunafikan itu menjelma dalam bentuk narasi busuk, isu ijazah palsu Presiden Jokowi, usulan copot wakil presiden terpilih hingga tuduhan-tuduhan absurd yang tidak mencerminkan akal sehat apalagi intelektualitas.

Gagasan-gagasan yang dilontarkan lebih menyerupai bisikan kalap kekuasaan daripada suara nurani.

BEGUNDAL SOSIAL
Yang menggelisahkan, mereka yang memproduksi kegaduhan adalah orang-orang yang lahir dari rahim perguruan tinggi.

Ada yang menyandang gelar doktor, profesor bahkan berprofesi sebagai penceramah dan tokoh agama. Amien Rais, Eggy Sudjana, Roy Suryo, Kurnia Tri Royani, Rismon Sianipar, Tifa serta nama-nama sejenisnya bukan asing bagi publik.

Di kala tertentu ada yang mengganggap intelektual namun sekarang dianggap begundal sosial.

Jika merujuk adagium tadi, mereka telah buta oleh ilmunya dan gila oleh agamanya.

Bukan karena mereka bodoh atau atheis melainkan karena mereka memperalat ilmu dan agama demi ambisi kekuasaan.

Agama dijadikan tameng pencitraan sedangkan ilmu dijadikan alat justifikasi kesesatan.

Seharusnya politik adalah ruang etik. Ia adalah seni mengelola perbedaan untuk kebaikan bersama.

Namun nilai luhur itu hancur lebur saat dipraktikkan oleh para provokator yang menyaru sebagai intelektual.

Mereka tidak sedang mengkritik sistem, tetapi sedang membakar fondasi bangsa: persatuan sosial dan kepercayaan publik.

Dampaknya lebih jauh dari yang disangka. Generasi muda yang menyaksikan pertarungan ini justru tumbuh dalam sinisme.

Mereka menyaksikan bagaimana orang-orang yang seharusnya menjadi panutan justru mempermalukan akal sehat. Bagi mereka, demokrasi bukan lagi ruang harapan tetapi panggung kebohongan.

Dalam sejarah, provokator berkedok pemikir selalu ada. Mereka menjelma dalam berbagai nama dan gelar. Namun selalu berakhir sama, dikutuk oleh zaman, dilupakan oleh rakyat.

Lihat bagaimana intrik politik menghancurkan Kekaisaran Romawi dari dalam. Lihat pula kisah kelam akhir Orde Lama dan Orde Baru—dimulai dari agitasi, berujung pada tragedi.

Hari ini, rakyat Indonesia barangkali tampak diam. Tapi bukan berarti mereka tunduk. Mereka diam untuk mencatat. Sebab sejarah menulis dengan telaten. Hukum menunggu dengan sabar. Dan kebenaran tidak butuh teriak tetapi hanya butuh waktu.

PENGHINA AGAMA
Para provokator itu tidak akan mati sebagai pahlawan tidak mati sebagai korban. Mereka akan mati secara perlahan, mati martabatnya, mati kariernya dan lebih tragis lagi, mati hati nuraninya.

Itulah kematian sejati bagi mereka yang telah menggadaikan kemuliaan ilmu dan kesucian agama demi ambisi pribadi.

Jika menista agama berarti menyimpang dari ajarannya maka merekalah penghina agama paling nyata.

Bukan karena mereka kafir tetapi karena mereka berkhianat terhadap kebenaran yang mereka dakwahkan sendiri.

Seperti pepatah tua: “Jika keadilan terlambat datang maka sejarah akan menulisnya dengan tinta kemarahan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *