Lukisan Triyoso Abadikan Tradisi Desa Wonosalam

Penulis Esai : Rokimdakas

Artikel, Berita, Budaya, Sosial121 Dilihat

SURABAYA, tretan.news – Kehadiran lukisan sekadar sapuan warna di atas kanvas namun juga jendela yang membuka kenangan, menghadirkan kembali masa lalu dalam rupa yang lebih hidup. Karya-karya Triyoso Yusuf adalah bukti bagaimana kenangan masa kecil bisa menjelma menjadi narasi visual yang menggugah.

Triyoso kecil tumbuh dalam lanskap budaya yang kental dengan tradisi. Di kawasan Wonosalam Jombang, tempat ia lahir dan tumbuh adalah panggung terbuka bagi wayang kulit, ludruk juga  kesenian bantengan. Tema lukisannya pun tak jauh dari kehidupan rakyat kecil dan tradisi desa.

Ia menyajikan cerita tentang kesenian rakyat, pesta panen hingga hiruk-pikuk kebun buah yang menjadi denyut kehidupan Desa Wonosalam. Baginya, melukis bukan sekadar menciptakan keindahan visual tetapi juga merayakan kehidupan dan kebahagiaan yang ada di dalamnya.

Komposisi karyanya dominan warna tanah kecoklatan kemudian disapu aksentuasi biru langit dan kuning kunyit. Kombinasi ini menciptakan kedalaman serta kehangatan yang menjadi karakter utama lukisannya.

Kehidupan rakyat dengan goresan  bertenaga disajikan dalam nuansa ceria. Suasana itulah yang menjadi daya tarik karyanya sehingga banyak digemari kolektor.

SUMBER IDE
Dunia seni rupa terus berkembang dimana para seniman berlomba menemukan identitas visual yang khas. Tanpa karakter yang kuat bisa dipastikan suatu karya akan hanyut di tengah derasnya kompetisi karena tidak  mampu mengail perhatian publik.

Bagi Triyoso kekayaan budaya merupakan sumber ide kekaryaan. Ia tidak hanya melukis tetapi juga menghidupkan kembali fragmen masa kecilnya.

Bayangan wayang kulit yang berkelebat disinari lampu blencong, dentang sampak kendang ludruk dan gemuruh bantengan terasa membakar semangat warga desa.

“Semasa kecil saya sering diajak kakek menonton wayang dan ludruk. Kenangan itu melekat begitu kuat hingga kini dan saya ingin mengabadikannya dalam lukisan,” ujar Triyoso, alumni SMKN 12 Surabaya yang meniti karier sebagai desainer produk sebelum terjun sepenuhnya sebagai pelukis.

Kehidupan pedesaan dan kehangatan tradisi mewarnai karya-karya Triyoso. Ia tidak hanya menangkap visual tetapi juga jiwa dari setiap adegan dituangkan ke atas kanvas. Figur yang disajikan bercorak karikatural dengan goresan tajam.

Komposisi karyanya kaya akan warna tanah kecoklatan diselaraskan dengan aksentuasi biru langit dan kuning kunyit. Kombinasi ini menciptakan kedalaman serta kehangatan yang menjadi ciri lukisannya.

PESTA PANEN
Pameran tunggal keenam Triyoso di Galeri Merah Putih, Surabaya tanggal 8 hingga 13 Februari 2025 menjadi panggung bagi karyanya. Dua dari sepuluh lukisannya yang terjual berjudul ‘KenDuren’ dan ‘Bancakan Salak Galengdowo’.

Pada saat pembukaan pameran lukisan  KenDuren langsung diminati kolektor asal Surabaya. Karya tersebut  menggambarkan pesta durian di Wonosalam. Itulah potret tradisi tahunan dimana masyarakat bisa  menikmati durian secara gratis di lapangan desa.

Sementara Bancakan Salak Galengdowo yang dibeli Galeri 75 Jakarta mengisahkan perayaan panen salak di Desa Galengdowo, Jombang.

“Setiap Mei atau Juni warga Galengdowo menggelar bancakan salak. Buah tersebut dibagikan gratis. Pengunjungnya datang dari berbagai daerah. Acara tersebut bukan sekadar pesta tetapi simbol ungkapan rasa syukur,” kata Triyoso kelahiran desa tersebut.

KIBLAT ESTETIKA
Menelusuri karya Triyoso, jejak sapuan warna Hendra Gunawan samar-samar terbaca. Tampak goresan ekspresif, figur karikatural serta permainan warna yang berani. Ia mengakui bahwa Affandi, Antonio Blanco dan Hendra Gunawan, tiga maestro yang menjadi kiblat estetikanya.

Kini, di usianya yang semakin matang, Triyoso tidak hanya melukis kenangan tetapi juga merayakan keberlanjutan tradisi. Karyanya bukan sekadar dokumentasi  melainkan perayaan visual yang menyatukan masa lalu dengan  masa kini dalam bingkai keindahan.

Saat tempo pameran berakhir, karya-karyanya turun dari panggung  namun semangat serta warna-warna yang telah dituangkan tak kan pernah pudar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *