TRETAN.news – Semakin usum label sariah. Nggak bank, nggak kampus, nggak hotel, nggak grup w.a. latah pake embel-embel sariah. Apa bener-bener sariah? Gak!!.. Umumnya malah kapir sariah.
Gak bahaya ta?
Akibat kepincut label Sariah, aku mencoba buka rekening di bank sariah. Tibaknya gak beda sama bank konvensional. Tiap bulane dipotong ongkos buat bayar pegawai, sewa gedung and cemacem. Kalo saldo cuma seket ewu, nggak bisa ditarik. Kalo mau nutup rekening, sisa seket ewu amblas. Mosok eker-ekeran perkara dhuwit sak itik. Padal regane pitik zaman now digitnya bisa bertitik-titik. Apalagi pitik sariah?
Di fakultas ekonomi sariah nggak beda jauh. Labelnya doang sariah, tapi kelakoan dosen, menejemene gak beda sama kampus abangan. Lalu apanya yang sariah?
Syariah merupakan tata hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia serta alam sekitar atau rahmatan lil alamin. Kampus Sariah seharusnya berempati betul pada mahasiswanya, bukan malah mempersulit.
Ini true story. Ada mahasiswa fakultas ekonomi sariah Unair sambat, skripsinya dipersulit oleh dosen pembimbing bernama Imron Mawardi. Bolak balik konsultasi nggak kelar-kelar. Malah dosene sibuk kelenceran, ke Korea kek, ke Jakardah kek, ke sana kek, ke sini … Gak mari-mari sampai berjalan semester kesebelas Imron tambah mayak.
Padahal waktu konsul, si mahasiswa gak kosongan. Kadang ngasih kain batik, jajan, Lalu tak bilangin, “sekali-sekali kasih sianida biar modar sariah“. Tapi areke gak punya nyali.
Apa sih artinya skripsi? Digarap mati-matian toh akhirnya masuk gudang. Pernah suatu hari aku lihat sebuah becak mengangkut barang dari kampus STKW. Setelah tak orak-arik ternyata tumpukan skripsi. “Jange digawa nang endhi Wak?” tanyaku di siang kenthang- kenthang. “Arep ditimbang Mas.” Lho??
Mendengar jawaban itu, bludrekku kumat, langsung teringat betapa susahnya para penggarap “barang rongsokan” itu? Gak yang sariah, gak yang abangan, sebelas dua belas, bagi kampus mahasiswa hanya dagangan pendidikan, tidak lebih.
Jadi pemikir kadangkala bingung cari obat kepala, saking ngelue mikir fenomena. Semakin aneh semakin ngelu. Dokter nggak bisa ngasih resep apalagi apotik?. Satu-satunya yang bisa dicoba agar waras hanya dengan menulis.
Lalu aku tulis kisah tentang homestay Adhirasa di Sumenep. Order via online tertera keterangan full. Dua keponakanku putri lalu mendatangi resepsionis. Kata petugase, ini homestay sariah. Maksudnya? Nggak boleh bawa cewek. Maksudnya? Kalo bawa cewek harus bawa surat nikah. Intinya? Kamar kosong. Keponakanku langsung pulang.
Gak kesuwen, adikku datang macak serdadu. “Siapkan lima kamar, ada tamu pusat datang.” Dibujuki gitu, resepsionisnya nggreweli. “Tapi ini Sariah Pak,” kata penjagae. “Apa kamu kira tamu penting ini mau ngewek? Jangan ngomong sembarangan ya!!.” Tanpa babibu, petugas itu minta waktu untuk menyiapkan lima kamar.
Apa bener-bener homestay sariah? Kebetulan aku menempati kamar samping resepsionis, jadi bisa ngamati tamu-tamu di hari Sabtu. Kelas garangan tentu daya ciumnya lebih tajam katimbang orang awam. Selepas Isyak, berpasang muda mudi, yang cewek jilbaban, pakai motor plat M, nyangking kresek isi air kemasan, snack, mungkin juga permen. Jangan-jangan cowoke ngantongi “stood” cap kuda? Pikiranku mbelakrak gak karuan.
Tibaknya yang cowok cuma nunjukin KTP, difoto sama petugase lalu bayar uang kamar, wis. Pasangan itu rerata menempati lantai dua. Sejam kemudian lampu kamarnya mati. Mosok jam segini tidur? Sing bener ae boss?