Imung Mulyanto Luncurkan Antologi Puisi ‘Tuhan, Plis Deh…’

Berita24 Dilihat

 SURABAYA, tretan.news – Ruang Multi Media Kampus STIKOSA-AWS Surabaya menjadi saksi peluncuran buku antologi puisi “Tuhan, Plis Deh…” karya jurnalis senior Imung Mulyanto, Jumat (3/10/2025).

Buku ini merupakan kumpulan puisi solo perdananya, meski sebelumnya karyanya telah menghiasi sejumlah antologi bersama di berbagai komunitas sastra seperti Warumas (Wartawan Usia Emas), Sanggar Patriana Surabaya, dan mantan wartawan Surabaya Post.

Meski produktif menulis puisi, Imung dengan rendah hati mengaku dirinya bukan penyair.

“Saya tidak berani menyebut diri saya seorang penyair. Tapi saya berani mendeklarasikan diri sebagai penulis, karena saya hidup dan menghidupi keluarga dari menulis,” ujarnya.

Imung menuturkan, sebagian besar karyanya lahir dari dunia jurnalistik. Sekitar 15 tahun ia menjadi wartawan Harian Sore Surabaya Post, 5 tahun di Jatim Newsroom Dinas Kominfo Jatim, dan 12 tahun di Arek TV Surabaya.

Sebelumnya, ia merupakan penulis skenario film dan televisi di Balai Produksi Media Televisi (BPM TV) Pustekkom Dikbud. Ia juga sempat bergabung bersama almarhum Arswendo Atmowiloto menulis skenario Film Seri ACI (Aku Cinta Indonesia) serial legendaris era 1980-an.

Selain puisi, Imung juga menulis cerpen, novel, esai, dan biografi. Ia kerap menjadi editor bagi karya sahabat-sahabatnya, termasuk buku “Wong Katrok Merambah Media” karya Sasetya Wilutama, novel “Halimun Biru di Singosari” karya Hariono Santoso, dan “Ndara Mantri Guru” karya Prof. Sugimin WW.

Imung Mulyanto

Puisi Sebagai Catatan Kegelisahan

Antologi “Tuhan, Plis Deh…” memuat 50 puisi yang dibagi menjadi empat bagian: Puisi Cinta Semesta, Puisi Cinta Pertiwi, Puisi Cinta Sesama, dan Puisi Cinta Tuhan. Proses kreatifnya pun unik — dilakukan dengan pendekatan jurnalistik: riset, observasi, dan wawancara.

“Saat menulis puisi, saya benar-benar menemukan kemerdekaan berekspresi. Tidak ada titipan pesan, tidak ada deadline. Puisi bagi saya adalah catatan kegelisahan,” tutur Imung.

Dosen STIKOSA-AWS Zaenal Arifin Emka menilai, karya-karya Imung merefleksikan perjalanan spiritual dan kesadaran eksistensial.

“Lewat puisinya, Imung seolah sedang berhenti di terminal-terminal kehidupan untuk bermuhasabah — mengaudit diri, menghitung tugasnya sebagai hamba Allah,” ujar Zaenal.

Menurutnya, puisi-puisi itu bukan hanya refleksi pribadi, tetapi juga warisan nilai bagi generasi mendatang.

“Imung tampaknya tak sekadar ingin berbagi kisah, tapi juga berbagi hikmah,” tambahnya.

Suasana peluncuran Buku Antologi Puisi “Tuhan, Plis Deh…,” di Kampus STIKOSA-AWS Surabaya, Jumat (3/10/2025).

Antara Fakta dan Rasa: Puisi yang Blak-blakan

Penulis dan editor Adriono, yang turut hadir dalam acara itu, menyebut puisi-puisi Imung impresif dan nakal, namun tetap jujur dan membumi.

“Biasanya orang bilang, kalau wartawan menulis puisi, hasilnya akan kaku karena terbiasa dengan fakta. Tapi karya Imung justru hidup kuat dalam tema, diksi, dan kedalaman,” katanya.

Adriono menilai, latar belakang jurnalistik Imung justru memperkaya puisinya.

“Jiwa watchdog-nya terasa. Ada kritik sosial, ada keberpihakan pada rakyat, tapi dibalut bahasa puitis yang padat makna. Beberapa puisinya bahkan terasa seperti pamflet politik,” ujarnya sambil mengutip larik dari puisi “Gusur-Menggusur”:

‘Penguasa menggusur rakyat / Rakyat jatuh / Menimpa penguasa! / Tunggulah saatnya: kebajikan pasti akan menggusur kebathilan!’

Adriono juga menyoroti bagian Puisi Cinta Tuhan yang mempersonifikasikan Tuhan secara humanis dan jenaka.

“Imung menulis puisi religius dengan gaya pop dan agak nakal. Dalam puisinya Maaf, Aku Belum Selesai, ia seolah berbincang dengan Tuhan seperti dosen yang memberi kesempatan remedial,” katanya sambil tersenyum.

Sedangkan dalam puisi yang menjadi judul buku, ‘Tuhan, Plis Deh…’, Imung menulis dengan gaya satir:

‘Tuhan, plis deh… / Ajari lagi aku tertawa dengan tulus / Jangan dengan tontonan badut-badut berdasi bergaya anti korupsi / Tidak dengan akrobat birokrat penggarong uang rakyat / Apalagi bangsat bersorban penipu umat…’

Puisi itu menjadi cermin kegelisahan sosial seorang jurnalis senior yang tetap tajam, meski kini lebih banyak menulis dengan pena rasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *