TRETAN.News – Ketika berita Jokowi, Gibran, dan Bobby dipecat dari PDIP viral, wartawan melakukan “stop door” di depan rumah Presiden Ketujuh RI. Dengan wajah datar Jokowi berkata singkat, “Waktu yang akan membuktikan.”
Begitu misterius, penuh tafsir. Demikian Jokowi, tokoh sentral politik yang sering membuat rakyat tersenyum oleh kata-kata bias.
Dari situ politik Indonesia serupa ludruk. Bicara soal ludruk, siapa lagi aktor utamanya kalau bukan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto? Dalam lakon penuh bumbu, ia menangis, menghujat, bahkan lupa karma atas aksinya. Seolah panggung politik baginya adalah ruang bebas karma.
KANDANG AMBRUK
Bambang “Pacul” Wuryanto, si Korea Banteng pernah mengingatkan, “Jangan ganggu orang baik. Habis lu!!” Sayang pesan itu tak digubris. Alih-alih introspeksi, PDIP malah berteriak semakin lantang.
Lagi-lagi Pacul mengingatkan, “Awas.. Mati lu!” Namun siapa sangka, orang baik yang dimaksud ternyata Jokowi, ikon dinamika politik kontemporer.
Hasto bak aktor ludruk garingan tampil total. Tidak cukup memecat Gibran dan Bobby, ia bahkan nekat mengusir Jokowi dari kandang banteng. Hanya saja nasib berkata lain. Begitu karma jatuh, panggung politik PDIP ajur.
Pilpres dan Pilkada 2024 menjadi mimpi buruk PDIP. “Ludes,” kata wong ludruk. PDIP kalah telak oleh kesaktian Partai Perorangan Jokowi. Tragis? Tentu. Tapi ini komedi kan? Bukan.
BLEDHEG SIGAR
Tanggal 23 Desember 2024 menjadi puncak cerita tentang Hasto. Selembar surat SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dari KPK datang seperti bledheg sigar di siang bolong. Dalam surat tersebut, Hasto resmi jadi tersangka. Rupanya inilah babak akhir dari drama panjang yang melibatkan Hasto, Harun Masiku si hantu politik juga mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Pasal yang dijeratkan tidak main-main: Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, serta Pasal 13 UU Tipikor. Ternyata, semua tangisan dan drama hanyalah pengalihan. Suap demi kursi DPR lewat pergantian antar waktu (PAW) akhirnya membuktikan bahwa politik Indonesia tak lebih dari pasar sapi, harganya tergantung negosiasi.
Drama ini tak lagi sekadar hiburan bagi rakyat namun juga pengingat bahwa panggung politik kita terlalu sering diisi dagelan. Dulu, para aktor bisa bebas keluar masuk panggung tanpa konsekuensi. Tapi di bawah Presiden Prabowo ceritanya jadi berbeda. Tidak ada lagi tari Remo atau dagelan tapi langsung adegan sadhuk-sadhukan. Salah jurus bisa mampus.
Hasto kini berada di panggung besar pengadilan, bisa dipastikan dia menggunakan kostum oranye. Kali ini dia tidak lagi bisa mengandalkan cerita picisan. Penonton sudah cerdas, skeptis, bahkan muak dengan dagelan politik lawas yang terus diulang. Penonton tau, di balik panggung banyak adegan terselubung untuk meraup untung.
Menonton panggung ludruk politik Indonesia membuat perasaan campur aduk. Ada lucunya, ironi, air mata, juga begitu pedas seperti makan rujak lombok se-ons. Hasto mungkin masih berusaha bertahan dengan naskahnya tetapi dia lupa bahwa ludruk ini berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan seperti kata Jokowi, rakyat bersama waktu yang akan membuktikan.
“Huah… huah…” Ini bukan tangisan Hasto tapi politik ini benar-benar pedas, sepedas Hasto dirujak karma politik.