Tretan.News – Di balik deretan angka dan grafik statistik kepesertaan jaminan sosial yang stagnan, ada satu sosok yang konsisten menyoroti akar persoalan mendasarnya yaitu literasi.
Bukan sekadar edukasi dalam bentuk ceramah atau brosur yang menumpuk di ruang tunggu kantor BPJS tapi pemahaman menyeluruh yang hidup dan tumbuh di benak masyarakat.
Sosok itu adalah Elyasani Irwanti, seorang dokter gigi yang juga dikenal luas sebagai pengamat jaminan sosial sekaligus pendidik yang tekun di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan.
Bagi Elyasani literasi bukan sekadar tau, melainkan mampu berpikir kritis dan mengambil keputusan atas informasi yang dimiliki.
“Edukasi itu proses. Literasi adalah hasil dari proses yang memicu kemampuan untuk memahami, menilai dan bertindak,” ungkapnya lugas.
Sudah lebih dari satu dekade Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) digulirkan pemerintah. Namun fakta berbicara, literasi masyarakat terhadap asuransi, termasuk jaminan sosial masih berada di titik yang memprihatinkan.
Menurut data OJK, indeks literasi asuransi hanya 31,72 persen dengan tingkat inklusi jauh lebih rendah, 16,63 persen. Tingkat inklusi adalah ukuran yang menunjukkan seberapa luas akses masyarakat terhadap berbagai produk dan layanan keuangan formal.
Di tengah semangat inklusivitas yang digaungkan pemerintah, Elyasani melihat ironi ini sebagai sinyal bahwa pendekatan yang selama ini dilakukan belum menyentuh esensi dalam membentuk mindset bahwa jaminan sosial adalah kebutuhan dasar.
“Banyak masyarakat belum menyadari bahwa jaminan sosial bukan hanya sekadar potongan gaji atau administrasi wajib perusahaan tetapi bentuk nyata kehadiran negara dalam melindungi warganya,” tutur Elyasani.
PROGRAM PENGUATAN
Alih-alih menyalahkan masyarakat, Elyasani memilih berinovasi dalam pendekatan. Salah satu terobosannya adalah mengintegrasikan literasi jaminan sosial ke dalam kurikulum sekolah, melalui Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di tingkat SMA. Modul bertema “Jaminan Sosial untuk Masa Depan yang Lebih Cerah” kini telah diterapkan di beberapa sekolah, salah satunya SMAN 61 Jakarta.
“Para siswa harus tau sejak dini bahwa menjadi peserta BPJS bukan pilihan namun kebutuhan. Mereka harus sadar, bahkan bisa menuntut jika perusahaan tidak mendaftarkan mereka. Inilah bagian dari evolusi kesadaran,” tegasnya.
Tak berhenti di SMA, BPJS Ketenagakerjaan juga membuka program magang melalui skema Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Para mahasiswa terlibat langsung dalam program sosialisasi dan rekrutmen peserta untuk menjadikan mereka duta yang menjembatani pemahaman antara institusi dan masyarakat.
Elyasani tak menutup mata bahwa masih banyak pekerjaan rumah. Biaya premi yang dirasa memberatkan, proses klaim yang dianggap berbelit, serta stigma bahwa asuransi “tidak sepadan” dengan iuran yang dibayar. Semua itu menjadi penghalang besar.
Namun baginya, semua bisa diatasi jika mindset publik diubah. Dan perubahan ini hanya bisa dimulai dari pemahaman.
“Kalau pekerja merasa aman maka mereka akan lebih produktif. Rasa aman itu hanya bisa diberikan jika mereka terlindungi oleh sistem,” ujarnya.
Sebagai dosen pengembangan pembelajaran yang kini sedang mempersiapkan masa purna bakti, Elyasani tak lantas melambat.
Ia tetap aktif menyusun kurikulum, memberi pelatihan kepada guru penggerak, bahkan turun ke masyarakat untuk menjelaskan dengan bahasa sederhana tentang jaminan sosial.
KUNCINYA: LITERASI
Dalam pandangan Elyasani, edukasi tanpa literasi hanya meninggalkan hafalan, bukan pemahaman. Karena itu, misi besar hidupnya adalah menjadikan jaminan sosial sebagai bagian dari logika berpikir masyarakat, bukan sekadar kebijakan pemerintah atau kewajiban institusi.
“Kalau pelajar kita sadar dari sekarang, mereka akan tumbuh menjadi generasi emas yang tidak hanya terlindungi, tapi juga melindungi yang lain,” tutup Elyasani penuh harap.
Oleh: Rokimdakas