SURABAYA, tretan.news – Puasa yang bener itu puasa hakekat – hakekate poso – bukan sekedar puasa sareat. Kalo puasa sareat itu untuk kalangan anak-anak hingga remaja. Kalo sudah dewasa apalagi umurnya sudah dekat tanah, level puasanya harus dinaikkan ke tingkat hakekat.
Kalo puasa sareat, dimulai sejak menjelang fajar hingga matahari tenggelam, dengan menahan diri untuk tidak makan tidak minum maka yang diperoleh cuma lapar dan haus semata. Karena puasanya bersifat fisik.
Sedangkan puasa hakekat, teks menahan diri untuk tidak makan tidak minum itu metafora batiniah. Yang menjadi pusat aktivasi batin adalah hati.
Maka dalam menjalankan puasa hakekat, perhatian utamanya adalah tidak memberi makanan dan minuman yang digemari hati, apapun!
makanan hati berupa kesenangan atau kesombongan, rumangsa, mengeluh, dan macam-macam perasaan yang membuat hati rusuh. Itu yang harus distop. Hakekatnya puasa hati, bukan puasa bodi. Caranya?
Diantara sekian cara, salah satunya adalah, “kesadaran menjaga alur napas”. Dalam bahasa Jawa diistilahkan “ngemong pucuke angin”. Alur napas ini jangan anggap enteng, kekuatannya dahsyat. Ia bisa menghentikan apapun yang berkecamuk dalam hati maupun pikiran. Napas merupakan media pengalihan paling efektif.
Yang dinamakan menjaga kesadaran atas alur napas adalah, ketika menghirup napas dari posisi hati ke arah otak sisi kanan, berhenti sejenak, dihembuskan ke arah hati kembali terus ditekan dengan perut hingga ke bagian kaki. Setelah finish, mulai lagi dari awal.
Di kalangan praktisi tarekat – semisal tarekat hakekat naqsyabandiyah uluwiyah yang saya libati – napas itu diisi dengan suatu penyebutan.
Teknisnya begini, ujung lidah ditempelkan pada langit rongga mulut.
Ketika menarik nafas, dalam batin menyebut: Allah … dengan pengucapan sepanjang napas sampai otak. Lalu berhenti sejenak. Saat menghembuskan napas diisi penyebutan: Hu, juga dengan pengucapan panjang hingga napas habis di bagian selah-selah jemari kaki.
Aktivitas tersebut yang disebut wirid napas atau dzikir nafas, sifatnya shir atau tersembunyi. Tidak perlu bibirnya umak-umik macam wong kurang sak ons.
KESETARAAN NILAI
Kesadaran menjaga alur napas berisi penyebutan Allah dan Hu itulah yang disebut dzikir akbar atau dzikir besar. Di kalangan penganut sekte spiritual, mengamalkan dzikir akbar tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Ritual seperti itu dipercayai sebagai shalat dhaim, yaitu sembahyang yang dilakukan secara terus menerus. Bukan shalat ala sareat yang lima waktu, tapi shalat dhaim berlangsung selama kesadaran berdzikir akbar diaktifkan.
Kesetaraan nilai itu seperti membaca surat Al Ikhlas 3x sama dengan satu kali khataman Qur’an, sama nilainya dengan 5x baca Fatihah. Demikian keyakinan atas pengamalan dzikir akbar, dimana imam sewaktu akan mulai shalat selalu mengucap: “dzikrullahu akbar …” Baru melakukan takbiratul awal.
Kesetaraan ini perlu dipahami sebagai bentuk penyederhanan ritual tanpa mengurangi penghayatan.
Kembali ke cara puasa yang bener adalah, hentikan segala makanan hati dan pikiran dengan cara “ngemong pucuke angin”. Cara puasa ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslim doang.
Siapapun, dari golongan apapun, penganut agama merek apapun, bisa melakukan puasa batiniah ini meski tanpa penyebutan apa-apa.
Bukan puasa bodi doang. Kalo puasa bodi dapetnya cuma laper dan haus, begitu dengar aba-aba magrib, nggeragase ngalah-ngalahi sapi.