SURABAYA, tretan.news – Kelaparan itu seperti burung gagak. Hitam, menakutkan dan tak bosan-bosannya berputar di atas kepala kaum miskin kota.
Bedanya, gagak ini bukan sekadar pertanda kematian ia adalah simbol bahwa hidup sudah tidak lagi punya kehormatan, bahkan ketika kematian pun tak lagi bisa dipertahankan.
Betapa getir ketika rakyat yang dicekik pajak, digiring ke pasar dengan harga pangan yang tak berperasaan, hanya bisa menyaksikan pejabat negeri ini bersolek dengan jam tangan mewah dan pesta makan malam berlapis daging impor. Sementara nasi di meja warga jelata semakin tipis, undangan pesta kenegaraan justru semakin tebal.
Maka, jangan salahkan bila rakyat tiba-tiba mengimani satu kata keramat: “LAWAN!”
Satu kata yang menjelma adzan kemarahan, lebih lantang daripada toa masjid, lebih sakral daripada sumpah jabatan. Kata itu yang membangkitkan keberanian ribuan orang untuk menjarah rumah para wakil rakyat yang sesungguhnya lebih patuh pada bisikan ketua partai ketimbang jeritan rakyat di jalan.
Dan lihatlah daftar “rumah ibadah baru” rakyat yang diserbu malam itu.
- Ahmad Sahroni, anggota DPR NasDem, rumah mewahnya di Jakarta Utara berubah jadi swalayan gratis.
- Eko Patrio, politisi PAN, kediamannya di Jakarta Selatan disulap jadi pasar loak kilat.
- Uya Kuya, yang biasanya menghibur di layar kaca kini rumahnya di Jakarta Timur jadi panggung rakyat untuk “stand-up comedy” tanpa tiket.
- Nafa Urbach, artis sekaligus anggota DPR NasDem, Tangerang Selatan mendadak jadi lokasi konser tanpa panggung.
- Bahkan Sri Mulyani, Menteri Keuangan tiga periode, rumahnya di Bintaro ikut dirampok seolah rakyat ingin “mengembalikan pajak” secara tunai.
Belum ada laporan resmi berapa jumlah harta yang raib. Tapi sejatinya, kerugian bukan sekadar televisi, karpet atau lemari es. Yang raib adalah kehormatan pejabat itu kalau memang mereka masih memiliki kehormatan.
Sosiolog boleh berteori soal frustrasi sosial, pengamat politik boleh menganalisis simbol perlawanan. Tapi bagi rakyat yang kelaparan, teori hanyalah lelucon.
Mereka tau, ketika negara tak memberi makan, satu-satunya cara bertahan adalah merampas meja makan para penguasa.
Maka jangan kaget bila burung gagak itu kini hinggap di atap rumah pejabat. Ia tidak sedang menunggu kematian rakyat miskin. Ia sedang menertawakan betapa kemewahan istana bisa runtuh hanya oleh satu kata keramat dari jalanan: *LAWAN!*
Rokimdakas
Minggu, 310825
BURUNG GAGAK DI ATAS ISTANA RAKYAT
