KOTABARU, tretan.news – Advokat M. Hafidz Halim, S.H. menyoroti pentingnya prinsip konfirmasi dalam praktik jurnalistik. Menurutnya, wartawan yang mengabaikan tahap konfirmasi telah melanggar etika profesi dan berpotensi menyesatkan publik.
Halim menilai, konfirmasi merupakan pilar utama yang membedakan jurnalis profesional dengan oknum yang hanya mengejar kepentingan pribadi.
“Konfirmasi adalah prinsip dasar jurnalisme yang etis dan profesional. Wartawan yang tidak melakukan konfirmasi berarti mengabaikan tanggung jawab publik dan melanggar kode etik,” ujar Halim di Kotabaru, Rabu (22/10/2025).
Pria yang akrab disapa Bang Naga ini menjelaskan, ada oknum yang mengaku sebagai wartawan namun tidak menjalankan fungsi jurnalistik dengan benar. Mereka cenderung membuat pemberitaan sepihak tanpa memberikan hak jawab kepada pihak yang diberitakan.
“Seharusnya ada hak jawab. Tanpa konfirmasi, berita berpotensi menyesatkan publik, bahkan bisa menjadi hoaks. Publik mempercayai media yang menyajikan fakta terverifikasi, bukan asumsi sepihak,” tegasnya.
Halim, yang kini aktif sebagai advokat di Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), menekankan bahwa konfirmasi merupakan bentuk keseimbangan informasi. Proses ini memberikan ruang bagi semua pihak untuk menyampaikan tanggapan sebelum berita dipublikasikan.
“Mengabaikan proses tersebut berarti melanggar tanggung jawab sosial wartawan dan merusak kepercayaan publik terhadap profesi pers,” jelasnya.
Menurutnya, wartawan profesional harus terikat dengan kode etik jurnalistik, bekerja untuk media resmi yang kredibel, dan mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
“Profesi wartawan seharusnya menjadi pelayan kepentingan publik, bukan alat untuk menekan pihak tertentu atau mencari keuntungan pribadi,” tambah advokat muda ini.
Terkait kasus yang menimpanya, Halim mengaku akan melaporkan pemberitaan yang dinilai tidak berimbang kepada Dewan Pers. Ia berharap lembaga tersebut dapat mengambil langkah untuk menegakkan kode etik jurnalistik.
“Saya akan laporkan ke Dewan Pers. Saya berharap ada evaluasi terhadap pemberitaan yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik,” ungkapnya.
Halim, yang mengaku pernah berprofesi sebagai wartawan pada 2015-2019, menegaskan bahwa pernyataannya merupakan kritik etik untuk mengingatkan pentingnya profesionalisme dalam dunia pers, bukan serangan pribadi.
“Ini bukan masalah pribadi, tetapi tentang menjaga kredibilitas profesi jurnalis di mata publik. Kita semua perlu saling mengingatkan untuk menjunjung tinggi etika profesi,” pungkas Halim.