Jangan Biarkan DFK Merusak Kepercayaan Publik Pada Negara

Berita, Sosial62 Dilihat

Tretan.News – Disinformasi, fitnah dan ujaran kebencian kerap menyesaki media sosial. Akibatnya masyarakat terbelah dan kepercayaan publik pada negara dipertaruhkan. Apalagi aparat keamanan tidak bersikap tegas terhadap pelaku DFK dalam menjaga kualitas demokrasi dan kredibilitas negara.

‎Polemik mengenai keabsahan ijazah Presiden RI ke-7 Joko Widodo kembali menguat setelah sejumlah kelompok terus memproduksi tudingan yang telah berkali-kali dibantah secara resmi.

‎Kondisi ini memunculkan kritik tajam terhadap sikap negara yang dinilai pasif, sehingga ruang publik terseret dalam pusaran disinformasi yang merusak kualitas demokrasi.

‎Di tengah polemik tersebut, respons lebih kuat datang dari parlemen. Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menegaskan pentingnya menjadikan pernyataan resmi UGM sebagai rujukan utama.

‎Ia menilai penyebaran isu tanpa bukti bukan hanya merusak kredibilitas akademik, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan.

‎“Penjelasan UGM harus dilihat sebagai langkah menjaga kredibilitas akademik. Kita tidak boleh membiarkan spekulasi liar merusak kepercayaan publik,” kata Hetifah.

Universitas Gadjah Mada (UGM) secara tegas menyatakan Jokowi merupakan alumni sah dan tercatat resmi dalam administrasi akademik kampus. Penegasan itu telah disampaikan melalui klarifikasi terbuka yang merujuk pada arsip, dokumen kuliah, hingga rekam proses akademik lain.

‎Di sisi lain, Bareskrim Polri turut menguatkan legalitas ijazah tersebut melalui verifikasi internal lembaga penegak hukum.

‎Dua konfirmasi resmi ini dipandang sebagai dasar yang cukup bagi negara untuk menghentikan beredarnya tudingan liar.

‎Meski demikian, di lapangan, berbagai narasi yang mempertanyakan keabsahan ijazah masih bermunculan. Penggiat fitnah dan disinformasi dinilai tetap leluasa memproduksi konten provokatif,
‎memperluas sebaran hoaks, serta mengaburkan batas antara kritik politik dan serangan personal tanpa bukti.

‎Para pengamat menilai situasi tersebut terjadi karena aparat negara belum mengambil langkah strategis untuk mengurai dan menindak para produsen informasi palsu.

‎Sejumlah analis kebijakan publik menegaskan bahwa negara berkewajiban memastikan ruang informasi tetap sehat. Dalam demokrasi, kritik adalah hal wajar, namun penyebaran tuduhan palsu yang terus-menerus dapat membangun persepsi alternatif yang bersifat destruktif.

‎Karena itu, intervensi negara dalam menangani disinformasi bukan dianggap pembatasan kebebasan berpendapat, melainkan upaya menjaga agar demokrasi tidak jatuh dalam praktik kebohongan yang terorganisasi.

‎Komisi X DPR RI meminta publik menghentikan penyebaran isu tidak berdasar dan berpegang pada klarifikasi resmi.

‎Namun, di tengah sikap tegas DPR, pertanyaan publik justru mengarah pada lambannya respons elemen negara lain, termasuk aparat keamanan dan intelijen, untuk memetakan aktor maupun motif di balik eskalasi disinformasi tersebut.

‎Para pengamat menilai bahwa penanganan isu ini telah melampaui persoalan pribadi seorang mantan presiden. Ini telah menjadi ujian konsistensi negara dalam menjaga integritas informasi serta marwah lembaga demokrasi.

‎Negara diharapkan tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi menjalankan fungsi perlindungan terhadap kebenaran dan ketertiban ruang publik.

Rokimdakas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *