SURABAYA, TRETAN.news – 10 November 1945: Hari Ketika Semangat Tak Gentar Menjadi Nyata, “Merdeka atau mati!” Seruan itu menggema di seluruh penjuru Surabaya, menjadi pekik perlawanan yang membakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Di tengah kobaran api dan desingan peluru, jiwa-jiwa muda memilih jalan kehormatan melawan penjajahan dengan taruhan nyawa.
Pekik “Allahu Akbar!” dari Bung Tomo melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Jalan Mawar, Surabaya, menyalakan bara keberanian. Kata-katanya bukan sekadar seruan, melainkan sumpah pengorbanan.
“Merdeka ataoe mati!” seruan yang mengguncang penjuru kota, menembus hati para pejuang, dan menjadi simbol keteguhan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945 menjadi titik balik sejarah bangsa. Para tokoh seperti Bung Tomo (Sutomo), Gubernur Suryo, Mayjen Sungkono, KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya, Moestopo, Soegiarto, dan H.R. Mohammad Mangoendiprodjo, menjadi garda terdepan perjuangan rakyat.
Dari balik lensa Abdul Wahab Saleh, fotografer yang mengabadikan momen itu, dunia menyaksikan bahwa kemerdekaan Indonesia dibayar mahal dengan darah dan air mata.
Bung Tomo, yang kelak menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang dan anggota DPR RI, tidak pernah berhenti bersuara. Ia tetap kritis terhadap kekuasaan, bahkan harus merasakan penahanan pada masa Orde Baru karena idealismenya.
Ia wafat pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Pada tahun 2008, negara menganugerahkannya gelar Pahlawan Nasional.
Setiap 10 November, bangsa ini memperingati Hari Pahlawan. Namun, pertanyaannya, apakah semangat “Merdeka atau Mati” masih hidup dalam diri kita?
Kini, peringatan Hari Pahlawan sering kali hanya sebatas upacara seremonial. Padahal, esensi dari perjuangan bukan hanya mengenang, tetapi melanjutkan cita-cita kemerdekaan.
Ironinya, di tengah kemerdekaan, masih banyak rakyat yang hidup dalam kesulitan. Mereka yang berjuang mencari nafkah dengan pekerjaan serabutan, tinggal di rumah tak layak, bahkan belum memiliki tempat tinggal tetap.
“Merdeka tapi mati” begitu potret getir sebagian saudara sebangsa yang belum merasakan kesejahteraan di tanah yang diperjuangkan para pahlawan.
Kemerdekaan seolah rapuh oleh perilaku tamak segelintir elite dan praktik korupsi yang mendarah daging. Ketidakadilan sosial, kemiskinan struktural, dan lemahnya hukum menjadi penjajahan gaya baru.
Pahlawan sejati adalah mereka yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok. Mereka hadir bukan untuk mencari keuntungan, tetapi memberi arti bagi kehidupan banyak orang.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Ir. Soekarno
Peringatan Hari Pahlawan seharusnya menjadi momentum untuk meneladani pengorbanan mereka membangun empati, solidaritas, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai kepahlawanan tidak hanya untuk dikenang, tetapi dihidupkan dalam tindakan nyata.
Generasi muda memegang peranan penting dalam menjaga api perjuangan tetap menyala. Dialog lintas generasi, keterlibatan dalam kegiatan sosial, dan kesadaran kolektif adalah bentuk penghormatan yang sesungguhnya terhadap jasa para pahlawan.
Menutup peringatan Hari Pahlawan, marilah kita mengheningkan cipta sejenak.
“Ya Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang, terimalah amal bakti para pahlawan kusuma bangsa yang telah gugur memperjuangkan kemerdekaan. Ampunilah dosa-dosa mereka, lipatgandakan pahala atas keikhlasannya, dan tempatkanlah di sisi-Mu bersama para syuhada dan orang-orang saleh.
Sadarkan hati kami sebagai penerus bangsa agar mampu melanjutkan perjuangan mereka menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Aamiin.”
Peringatan 10 November bukan hanya tentang masa lalu, tetapi tentang masa depan. Selama semangat “Merdeka atau Mati” masih hidup dalam hati rakyat Indonesia, bangsa ini tak akan pernah kehilangan arah.
Penulis: Eko Gagak







